Senin, 15 Mei 2017

PROBLEMATIKA KEBANGSAAN DARI PERSPEKTIF AGAMA

Tema   : Problematika Kebangsaan dari Perspektif Agama
Nama   : Riswandi
Prodi   : PPKN
Kebangsaan, Islam dan Nasionalisme
Negara Indonesia terdiri dari ribuan pulau, ratusan suku bangsa, negara Indonesia merupakan negara majemuk, dengan beranekaragam budaya, agama, bahasa, namun dari banyaknya perbedaan tersebut tetap bisa menjadi satu kesatuan, seperti semboyan NKRI yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Dalam era globalisasi, Indonesia telah mengalami banyak perubahan, perubahan yang dimaksud adalah perubahan dalam persatuan dan kesatuan, perlahan-lahan semboyan yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia sudah mulai luntur, banyaknya kejadian seperti perkelahian, konflik antara mayarakat, tawuran warga, bullying, konflik antar suku. Konflik agama di tengah-tengah masyarakat. Dengan banyaknya kejadian-kejadian tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sedang darurat persatuan.
Kejadian-kejadian tersebut dapat dirasakan dan dihadapi oleh masyarakat karena adanya pengaruh dari penguasa, penguasa itu adalah negara barat, dengan berbagai cara dari mereka, mereka menjajah Indonesia melalui pemikiran, bukan lagi dari fisik, masyarakat Indonesia dituntut untuk mengkonsumsi produk-produk dari luar, tanpa disadari dengan menggunakan produk dari luar maka akan semakin menambah kesempatan mereka untuk menguasai Indonesia.
Adanya konflik, persitiwa dan kejadian-kejadian itu merupakan takdir dari Tuhan, problematika yang terjadi di Indonesia merupakan problematika kebangsaan yang krusial, yang harus segera diselesaikan, namun yang paling krusial adalah problematika kebangsaan yang terkait dengan agama, apalagi baru-baru ini terjadi penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, kasus ini masih bergulir di pengadilan, namun penulis ingin melihat dari sisi lain dari kasus terebut bahkan di lihat dalam konteksnya secara umum, terkait dengan penistaan agama menjadi probematika tersendiri bagi bangsa Indonesia, berbicara soal agama memang merupakan suatu yang sensitif, karena agama adalah urusan tiap-tiap individu, bahkan dalam UUD 1945 juga disebutkan tentang hak untuk memeluk agama. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya. (UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2)
Berbicara tentang problematika kebangsaan dari perspektif agama, maka akan terkait juga dengan hubungan Islam dan nasionalisme, di Indonesia, dimana mayoritas penduduknya adalah muslim telah lama terjadi dikursus tentang hubungan islam dan nasionalisme. Ada yang mencoba mengaitkan atau setidaknya mencari hubungan di antara keduanya. Bahkan ada pula yang mempertentangkan keduanya. Adapun untuk mendapatkan gambaran komprehensif tentang hubungan islam dan nasionalisme, menurut Imam Hasan Al-Banna yang menurut penulis masih sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, dimana diantaranya beliau menguaraikan bahwa apabila yang dimaksud dengan nasionalisme adalah kerinduan/keberpihakan terhadap tanah airnya (nasionalisme kerinduan), atau keharusan berjuang membebaskan tanah air dari imperialise (nasionalisme kehormatan dan kebebasan) atau memperkuat ikatan kekeluargaan antar masyarakatnya (nasionalisme kemasayarakatan), atau membebaskan negeri-negeri lain, (nasionalisme pembebasan),  hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang fitrah dan dapat diterima bahkan ada yang dianggap sebagai kewajiban. (Adhyaksa Dault : 2003) Sebaliknya apabila nasionalisme itu adalah dimaksudkan untuk memilah umat menjadi kelompok-kelompok sehingga mereka menjadi berseteru satu sama lain, kemudian umat diekploitasi untuk memenuhi ambisi pribadi (nasionalisme kepartaian), maka itu pasti nasionalisme palsu yang tidak akan memberikan manfaat sedikitpun.
Nasionalisme yang memberikan manfaat adalah nasionalisme yang lahir dari dalam hati, lahir secara ikhlas dan tulus, tidak terpaksa karena suatu ikatan, dalam agama ikhlas adalah sesuatu yang dijalankan tanpa paksaan dan tanpa intimidasi, ikhlas adalah kemurnian hati untuk menjalankannya. Dalam konsep kebangsaan, nasionalisme dipandang sebagai rasa cinta tanah air, bangsa yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi akan memertahanakan bangsa dan negaraya, dari rasa cinta tersebutlah lahir jiwa patriotisme, bangsa yang berjiwa patriotisme akan membela tanah airnya dari segala macam gangguan.
Belakangan ini perbincangan masalah nasionalisme dalam perspektif dakwah merupakan hal yang sangat jarang dilakukan. Akibatnya, banyak aktivis islam yang membuat jarak terhadap permasalahan ini, sehingga kontribusi mereka terhadap bangsa yang didiami menjadi tidak begitu besar. Umumnya mereka merasa rezim, sistem, dan tanah air adalah sesuatu yang pantang didekati karena tidak megikuti syariah Allah. Masalah berikutnya yang muncul akibat antipati seperti ini adalah aset nasional dikuasai orang lain yang sama sekali tidak peduli dengan keutuhan dan kejayaan bangsa. Bahkan penguasaan total umat islam, kekuatan militer, ekonomi, dan lainlain dikuasai orang lain tanpa rasa malu.
Nasionalisme, Pluralitas, dan Demokrasi
Di luar masalah KKN, masalah pluralisme dan integrasi nasional masih mengemuka. Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia terbagi dalam berbagai kesukuan, keagamaan dan kedaerahan. Namun ketika segmentasi horizontal tersebut berubah menjadi kesadaran sejarah, sistem nilai budaya, pengelompokan sosial, dan kepentingan kelompok yang saling berbeda, maka masalahnya menjadi lain. Lebih dari sekedar untuk dapat disebut sebagai kenyataan, melainkan telah menjadi potensi konflik. Tidak mudah mengatasi konflik horizontal karena pada dasarnya kesukuan, keagamaan dan kedaerahan merupakan faktor yang bersifat tetap(fixe) dan kefaktaan yang membatasi. (Samuel Koto : Pluralitas dan Demokrasi : 2002)
Yang disebut konflik juga tidak linear, seolah-olah hanya terjadi secara antar suku, antar agama, dan antar daerah. Dengan pengecualian di Poso dan Maluku yang diwarnai oleh konflik antar agama, tidak demikian halnya yang terjadi di daerah konflik lain. Di Aceh yang berpredikat Serambi Mekkah, orang Aceh membunuh dan mengusir orang islam, hanya karena dia pendatang atau transmigran dari Jawa. Di Kalimantan bukan hanya suku Dayak Kristen yang membunuh dan mengusir etnis Madura yang seratus persen Muslim, melainkan juga suku Dayak Melayu yang islam ikut berkolaborasi dalam Dayak Raya. Yang paling unik terjadi di tanah Papua setelah muncul apa yang yang disebut dengan Presidium Dewan Papua(PDP) justru konflik menjadi tidak terkendali. Globalisasi konflik-konflik itu memperberat persoalan yang kita hadapi sebagai suatu bangsa. Lagi-lagi nasionalisme dan globalisasi menjadi titik temu dalam penghadapan antara kekuatan internasional versus nasional, celakanya sebagaimana kita tahu, globalisme telah cenderung merontokkan negara bangsa yang tidak sanggup bersaing dalam percaturan global.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi di semua daerah konflik selain tentang peranan pemerintah adalah security treatment yang dengan mudah menjadi armed attack. Kegagalan sistem politik dan pemerintahan dalam penyelenggaraan pembangunan dan keamanan merupakan sejarah masa lalu yang amburadul, dan sejarah masa depan yang sama sekali belum menunjukkan tanda perbaikan yang berarti. Bahkan dalam beberapa kasus, misalnya pembunuhan terhadap Theys H Eulay, pemerintah cenderung gagap, melatarbelakangi konflik bukan berpusar pada entitas pluralitas masyarakat, melainkan pada itu tadi compang-campingnya sistem politik dan pemerintahan dalam penyelenggaraan pembangunan.
Krisis Nasionalisme, Krisis Kebangsaan
Petikan pandangan Prof. Dr. A. Syafii Ma’arif di atas cukup merefleksikan betapa kita mengalami krisis nasionalisme, krisis kebangsaan, setidaknya kita mengidap ambivalensu dan ambiguitas tentang nasionalisme yang di masa lalu mampu menggerakkan rakyat untuk mencapai Indonesia merdeka. Bahwa ada kekhawatiran, nasionalisme menjadi usang oleh dominasi kapitalisme dan sebagian akibat formalisme paham kebangsaan oleh era demokrasi terpimpin dan orde baru di masa lalu.
Dewasa ini, nasionalisme dan nasionalitas di Indonesia menjadi fokus analisis para intelektual di dalam dan di luar negeri. Salah satu analisis barat, belum lama ini, Prof. Dr. Robert I Rotberg, Direktur Program Konflik John F Kennedy School of Goverment, Harvard University, AS, menegaskan bahwa krisi multidimensi di Indonesia membutuhkan solusi yang efektif dan dan cepat, bagi Indonesia, sangat penting memiliki para pemimpin yang kuat, visoner dan legitimate. Ketiganya merupakan suatu keharusan, sebagai conditio sine qua non mengingat Indonesia saat ini berada dalam zona bahaya atau zona merah dari sebuah negara bangsa lemah yang bergerak menuju negara yang gagal.
Dalam pandangan Rotberg, Indonesia akan selamat dan terlindung dari bahaya menjadi negara bangsa yang gagal, apabila memiliki kepemimpinan yang kuat dan visioner serta ada komitmen untuk membantu Indonesia dalam bidang ekonomi dan rekonstruksi sosial, khususnya dalam upaya penegakan hukum (Kompas, 28 Maret 2002). Rotberg juga berpendapat bahwa Indonesia akan menghadapi masa-masa sulit dalam beberapa tahun mendatang dan memerlukan kepemimpinan yang berbobot dan kuat untuk menghindari terjadinya negara gagal dalam disintegrasi.
Persoalan yang serius yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah perekonomian yang lemah, gerakan separatisme Aceh dan Papua, serta konflik sosial. Ada kekhwatiran konflik berlatar belakang perbedaan etnis, agama atau bahasa akan berkembang di daerah-daerah lain tanpa sebab yang jelas. Disini perlunya penguatan pemerintah berdasarkan aturan desentralisasi tanpa perpecahan sekliagus penguatan nilai-nilai politik secara nasional. Pemerintah Indonesia harus beradab dan beragama untuk menyelesaikan konflik kebangsaan, ini terkait dengan hati nurani rakyat Indonesia, ini bukan persoalan biasa, umat islam sakit hati dengan penistaan ini, maka perlu dilakukan proses hukum yang jelas dalam konflik ini (Aa Gym dalam acara Indonesia Lawyer Club). Indonesia memiliki keuntungan adanya sentimen nasional yang kuat tetapi sekaligus memiliki sumber-sumber yang potensial menciptakan instabilitas politik atau ekonomi. Oleh karena itu perlu ada kepemimpinan yang kuat dan visioner. Ada empat kategori negara bangsa yakni negara bangsa yang kuat, lemah, gagal dan runtuh.
Fenomena kegagalan negara bukanlah hal yang baru di dunia setelah keruntuhan Uni Soviet, dari jumlah 192 negara yang berada dalam transisi demokrasi, diantaranya banyak yang lemah dan menghadapi bahaya menuju kegagalan. Negara-negara yang gagal cenderung menghadapi konflik yang berkelanjutan, tidak aman, kekerasan komunal, maupun kekerasan negara sangat tinggi, permusuhan karena etnik agama ataupun bahasa, teror, jalan-jalan atau insfrastruktur fisik lainnya dibiarkan rusak.
Indonesia bukanlah salah satu negara gagal, namun Indonesia adalah negara yang terancam gagal, dalam tata pemerintahannya, Indonesia mulai menghadapi krisis nasionalisme, dimana bangsa Indonesia sendiri sudah mulai bergeser ke arah barat, remaja sudah mulai mengikuti gaya kebarat-barata, dari pakaian dan gaya hidup. Krisis nasionalisme yang dihadapi Indonesia saat ini berdampak terhadap dinamika politik, dinamika politik yang berjalan saat ini tidak stabil, pemerintah cenderung tidak peduli dengan permasalahan bangsa, saat ini pemerintah sibuk mengurusi urusan pribadi, padahal banyak sekali urusan kebangsaan yang belum diselesaikan. Yang menjadi titik permasalahan saat ini adalah persatuan bangsa Indonesia yang terancam hancur, dari banyaknya kejadian dan permasalahan dalm bidang agama, menjadikan bangsa Indoensia terpecah.
Kasus kegamaan seolah menjadi kasus pokok yang bisa menghancurkan bangsa Indonesia, apalagi di Indonesia memiliki beberapa daerah otonom yang sifatnya istimewa, ini sangat rentan untuk keluar dari Indonesia dan membentuk negara baru, hanya karena kasus agama yang dinistakan, agama menjadi pedoman dan kepercayaan setip orang, dalam krisis kebangsaan yang dialami Indonesia adalah konflik antar agama adalah pemicu utamanya. Beberapa kalangan ustadz dan ulama saling melakukan pertemuan untuk menyelesaikan konflik agama yang terjadi. Namun kadangkala pertemuan para tokoh agama kerap kali menjadi ajang pencitraan semata dan untuk kepentingan politik mereka. Apalagi di musim pilkada seperti saat ini. Tidak jarang setiap orang melakukan pencitraan untuk memenangkan salah satu pasangan calon yang didukungnya.
Ancaman Transisi Demokrasi
Bangsa Indonesia yang kini sedag mengalami  proses transisi demokrasi, benar-benar sedang berada dalam situasi kritis karena kini kita tepat berada di persimpangan jalan keselamatan atau jalan kehancuran. Bila proses transisi ini tidak dapat kita lalui dengan baik, demikian sosiolog Imam Prasodjo, ancaman yang kita hadapi tidak saja proses disintegrasi bangsa, tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan terjadinya proses disintegrasi sosial atau hancurnya social bond (kerekatan sosial) dalam masyarakat. Bila social bond hancur, akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling mempercayai) diantara kelompok-kelpmpok sosial, sehingga kelompok satu dengan yang lain dalam masyarakat akan saling curiga, saling bermusuhan, atau bahkan saling berupaya meniadakan. Dalam situasi ini, menurut Imam Prasodjo, tawuran massal gaya Thomas Hobbes, war of all against all,  bukan lagi menjadi khayalan. (Imam B. Prasodjo, The End of Indonesia? (Kompas, 20 Desember 2002)
Situasi yang penuh pertentangan diantara masyarakat itu dinamakan state of nature  dimana manusia saling bersaing dan berkompetisi tanpa aturan dan ketiadaan hambatan atau restriksi untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, bahkan jika perlu membunuh dan penghalalan terhadap segala cara lainnya atau paling tidak menguasai orang lain. Pada tataran abstraksi ini, manusia dipandang sebagai serigala yang saling berkelahi untuk mendapatkan kebebasan atau makanan bagi dirinya. Jadi aturan yang adapun hanya dipergunakan agar tidak terjadi tindakan yang mungkin menghancurkan diri sendiri.

  Gerakan Islam : Respons atas Hegemoni Barat
Munculnya gerakan-gerakan islam modern dengan segala bentuknya yang beragam, menurut Bruce B. Lawrence, mantan Presiden Masyarakat Amerka untuk studi agama, merupakan “pola interaksi antara eropa dan dunia islam”. Perkembangan terbaru dalam interaksi itu dimulai dengan ekspansi kolonial eropa barat pada abad ke-18 dan 19 yang awalnya menimbulkan reaksi defensif dan sekarang berkembang menjadi aksi-aksi ofensif. (Lawrence. Bruce B. Menepis Mitos : Islam di Balik Kekerasa : Jakarta :Serambi Ilmu Semesta, 2000 : Hal 71). Kekuatan kolonial eropa ini kemudian berkembang menjadi “imperalisme”. Amerika Serikat yang menjelma sebagai representasi barat. Jadi barat adalah obyek laan yang berhadapan dengan dunia/gerakan islam. Oleh karena itu perkembangan gerakan islam akan terus meningkat seiring kerasnya dominasi, globalisasi, dan intervens barat barat pada dunia islam. Secara hipotetik, dapat dinyatakan semakin tinggi tingkat hegemoni barat maka semakin tinggi pula resistensi gerakan islam pada tingkat global. Inilah yang kemudian disebut oleh Bassam Tibi, cendekiawan islam yang tinggal di Jerman, secara naif sebagai pencipta kekacauan baru dunia. (Tiara: Ancaman Fundamentalisme Wacana, Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Barat : Jakarta. 2000).
Benjamin Barber secara simplistis menamakan fenomena dan gerakan-gerakan reaktif menentang globalisasi dengan istilah “Jihad vs Mc World”. Fenomenda “jihad” disini tidak hanya dipakainya untuk menggambarkan resistensi dari kelompok-kelompok fundamentalis islam, namun segala bentuk resistensi terhadap globalisasi. Berbeda dengan Huntington yang melihatnya dalam konteks clash of civilizations, ia beranggapan bahwa peperangan jihad menentang Mc World bukan sebuah benturan peradaban. Hal itu merupakan sebuah ekspresi dialektis dari ketegangan-ketegangan yang dibangun ke dalam sebuah peradaban global tunggal ketika ia muncul dengan perpecahan agama dan etnik tradisional sebagai latar belakangnya, yang kebanyakan sesungguhnya diciptakan oleh Mc World dan industri infotainment serta inovasi teknologinya sendiri (Benjamin R. Barber, Jihad v MC World : Fundamentalisme, Anarkisme Barat dan Benturan Peradaban : Surabaya : Pustaka Promethea : 2002)


Berbicara tentang islam, meskipun Barber yang sama sekali bahwa islam adalah sebuah agama kompleks yang sama sekali tidak sinonim dengan jihad, namun menurutnya islam relatif tidak ramah terhadap demokrasi. Ketidakramahan ini sebaliknya menyuburkan kondisi-kondisi yang mendukung parokialisme, antimodern, eksklusivitas, dan permusuhan kepada yang lain.
Pernyataan Barber di atas senada dengan yang diutarakan Huntington, bahwa islam berpotensi menghambat demokrasi. Mengutip Gellner, terdapat argumen bahwa “wujud kebudayaan luhur islam mengandung sejumlah ciri menonjol yang positif; faham keesaan Tuhan, etika kekuasaan, individualisme, ketaatan pada kitab suci, puritanisme, penolakan yang bersifat egaliter terhadap meditasi dan hierarki, muatan magis yang cukup kecil, yang kesemuanya sesuai dengan persyaratan bagi modernitas atau modernisasi. Namun, tegas Huntington, islam juga menolak pembedaan antara komunitas agama dan komunitas politik. Islam fundamentalis menuntut bahwa dalam sebuah negeri muslim, para penguasa politik seharusnya adalah muslim yang taat, syariat seharusnya merupakan hukum dasarnya, dan ulama seharusnya memiliki suara yang menentukan dalam mengartikulasikan, atau sekurang-kurangnya meninjau dan meratifikasi semua kebijakan pemerintah jadi doktrin islam mengandung unsur-unsur yang sesuai maupun yang tidak sesuai dengan demokrasi.. (Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga(terj.), Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1995) Hal. 396)
Lebih jauh lagi, Huntington menilai bahwa maslaah bagi barat bukanlah fundamentalisme islam, tetapi islam, sebuah peradaban berbeda yang didukung oleh orang-orang yang meyakini superioritas kebudayaan mereka dan terobsesi dengan lemahnya kekuatan mereka. Sebaliknya masalah bagi islam bukanlah CIA atau departemen pertahanan AS, melainkan barat, sebuah peradaban berbeda yang didukung oleh orang-orang yang yakin pada universalitas kebudayaan mereka dan percaya bahwa mereka superior, jika melemah kekuatan memaksa mereka menjalankan kewajiban untuk mengembangkan kebudayaan mereka ke seluruh dunia.
Kaum fundamentalis memandang bahwa memahami agama secara mengakar jauh lebih penting sebelum membuat rencana aksi yang cenderung bersifat kekerasan. Penyeragaman pandangan terhadap komunitas yang memberikan respon terhadap modernisasi, pemerintahan sekuler dan budaya barat ke dalam sebutan fundamentalis sesungguhnya merupakan sebuah penyederhanaan yang berlebihan. Spektrum dunia pergerakan islam sesungguhnya menyimpan warna-warna yang kaya dalam khazanah yang cukup plural. Tidak semua kalangan yang kritis terhadap Amerika Serikat, Israel, budaya barat, materialisme kapitalisme, isu-isu feminisme, hak asasi manusia dan demokrasi dapat dikategorikan sebagai kaum fundamentalis.
Kaum radikal islam yang bangkit dengan garis yang berbeda, bahkan secara diametral berlawanan dengan fundamentalis adalah taksonomi pergerakan islam yang mesti dilihat secara berhati-hati. Adanya fakta bahwa fundamentalisme telah muncul dalam ledakan-ledakan kecil dan besar di semua budaya (budaya agama monotheis, maupun politheis) mengindikasikan sebuah kekecewaan yang meluas terhadap masyarakat modern dimana banyak dinatara kita malah merasakannya sebagai sesuatu yang membebaskan, menyenangkan dan memberdayakan.
Proyek-proyek yang secara kasat mata dipandang baik oleh kaum liberal, dimana kaum radikal islam juga termasuk di dalamnya seperti demokrasi, penciptaan perdamaian, kepedulian terhadap lingkungan, pembebasan wanita atau kebebasan berbicara dapat dipandang buruk, bahkan haram oleh kaum fundamentalis.
Kaum fundamentalis seringkali mengekspresikan dirinya secara kekerasan, tetapi kekerasan itu adalah cara atau jalan yang paling sederhana yang memancar dari ketakutan mereka yang mendalam akan hancurnya komunitas, tradisi, nilai dan budaya yang mereka anggap luhur.
Setiap gerakan kaum fundamentalis yang pernah diteliti, terdapat sebuah ketakutan irasional akan proses penghancuran terhadap mereka secara sistematis. Menurut Scott Appleby, kemapanan kaum sekuler bertujuan untuk menghapuskan keberadaan mereka sebagai kaum beragama dari muka bumi ini, sekalipun itu di Amerka Serikat sendiri. Kaum fundamentalis yakin bahwa respon mereka secara kekerasan adalah sebentuk perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan yang telah menakut-nakuti mereka selama ini. Kaum fundamentalis percaya bahwa mereka selama ini melawan demi mempertahankan agama dan mempertahankan masyarakat yang beradab.
Karen Armstrong, dalam tulisannya tentang biografi rasul Muhammad mengingatkan tanggung jawab barat/AS terhadap munculnya bentuk radikalisme baru islam, yang dalam pengertian tersembunyi akan bangkit secara tiba-tiba seperti dalam fantasi-fantasi lama masyarakat barat. (Karen Armstrong, Muhammad. A Biography of The Prophet, Gutternberg Project :2000). Sekarang banyak masyarakat dalam komunitas dunia islam yang menolak persepsi bahwa barat sebagai tak bertuhan, tidak adil dan dekaden. Kaum islam radikal baru tidaklah sesederhana kaum fundamentalis yang membenci barat. Bagaimanapun, kaum radikal baru islam tidak merupakan gerakan yang homogen. Muslim radikal pada pokoknya berupaya meletakkan rumah mereka sendiri dalam suatu tata aturan yang berbeda sesuai dengan yang mereka persepsikan. Tidak sebagaimana kaum fundamentalis yang mengidap dislokasi kultural yang parah, kaum radikal juga merasa nyaman dengan zaman modern.
Mustahil untuk menggeneralisasikan bentuk-bentuk ekstrim kelompok agam, karena mereka bukan hanya berbeda tiap-tiap negara, tetapi juga berbeda antara tiap-tiap kota bahkan tiap-tiap kampung atau desa. Hanya sebagian kecil saja dari kelompok fundamentalis yang setia dengan aksi-aksi teror, sementara banyak kaum radikal islam bahkan sangat bersahabat, menginginkan perdamaian, berpengharapan pada hukum dan tata aturan dan menerima nilai-nilai positif dari masyarakat modern. Jika kaum fundamentalis tidak pernah punya waktu untuk berbicara tentang demokrasi, pluralisme, toleransi beragama, penciptaan, perdamaian, kebebasan individu atau pemisahan antara agama dan negara, maka komunitas lainnya bahkan yang radikal sekalipun justru menganggap semua itu adalah sublimasi nilai-nilai agama dan bahasa profan.
Nasionalisme Religius
Nasionalisme merupakan solusi terbaik meng-counter wabah disintegrasi bangsa sebab ikatan dan kesadaran sebagai suatu bangsa yang memiliki persamaan sejarah dan perjuangan akan membentuk suatu ikatan identitas dan emosional yang kuat. Sebagai  bangsa yang religius tentunya nasionalisme Indonesia tidak akan terlepas dari nilai-nilai spiritual. Dewasa ini di Indonesia, isu mengenai nasionalisme semakin memudar. Indikasi ini terlihat dari fenomena yang berkembang pada tataran masyarakat bawah (grass root) terutama pada generasi muda sedikit sekali dari mereka yang mereka makna nasionalisme, terlebih mengaplikasikan nilai-nilai nasionalisme dalam kehidupan keseharian dalam bingkai kebangsaan.
Komposisi Indonesia sebagai bangsa yang besar, baik dari segi luas wilayah negara, ragam agama, multi kultur dan multi etnis meniscayakan terbangunnya nasionalisme secara kokoh. Kondisi yang sangat rentan terebut diperparah dengan semakin membuminya globalisasi dunia membuat jajak geografis antar negara semakin tipis yang jika tidak diwaspadai dan diambil tindakan preventif sedini mungkin, dapat berimbas hilangnya identitas suatu masyarakat bahkan bangsa. Nasionalisme kini seakan menjadi barang langka yang hanya dapat dijumpai dalam suatu diskusi, seminar dan pembicaraan akademik lainnya tetapi itupun hanya terbatas dalam suatu perdebatan dan wacana tanpa tindak lanjut. Banyak faktor yang turut mempengaruhi kondisi memudarnya semangat nasionalisme. Faktor globalisasi dituding menjadi salah satu sebab yang paling mempengaruhi dan bertanggung jawab atas kondisi mereduksinya nilai-nilai nasionalisme dalam suatu bangsa. Globalisasi telah memudarkan batas geografis, demografis serta etnografis antara satu negara dengan negara lainnya.
Kekhawatiran sebagian masyarakat Indonesia terhadap munculnya kembali ideologi komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia menyebabkan kembali terangkatnya wacana tentang nasionalisme religius dalam kancah politik Indonesia. Sebagian besar rakyat Indonesia memang tidak menghendaki ajaran-ajaran komunis dihidupkan lagi. Namun, sebagai sebuah wacana intelektual, kita tidak boleh begitu saja mengharamkan segala sesuatu yang memiliki dampak negatif secara praktis. Artinya, dalam tataran teoritis, ajaran-ajaran komunisme/Marxisme –Leninisme semestinya boleh saja dipelajari sebagai sebuah wacana intelektual-ilmiah yang bisa membantu masyarakat memperluas cakrawala pemikiran yang semakin mencerdaskan dan mendewasakan bangsa Indonesia.
Komunisme tentu saja harus dilarang kalau sudah dijadikan sebagai ideologi dan gerakan, karena ketiganya tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang umumnya menganut agama sesuai dengan keyakinannya. Karena itu, politik Indonesia diharapkan menjadi sebuah politik yang tetap diwarnai nilai-nilai spiritual-keagamaan, politik yang tidak sepenuhnya terlepas dari koridor moral dan nilai-nilai ketuhanan yang menjadi landasan dan dasar ideologi negara. Upaya ini hendaknya tidak dilihat sebagai pemolitikan agama yaitu menjadikan isu-isu agama sebagai komoditas politik untuk memperoleh kekuasaan dan semacamnya, tetapi lebih pada pengagamaan politik, yaitu upaya menjadikan agam sebagai pengawas para pelaku politik agar tidak terjebak dalam politik Machiaveliansme yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Nation (bangsa) mempunyai dua pengertian yaitu, dalam pengertian antropologis/sosiologis dan politis. (Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme (Ciputat : Logos, 1999) Hal 57). Dalam pengertian antropologis/sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Nasionalisme politik masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam.
Nation dalam pengertian politik ilmiah yang kemudian merupakan pokok bahasan tentang nasionalisme. Tetapi nation dalam pengertian antropologis tidak dapat begitu saja ditinggalkan atau diabaikan, sebab ia memiliki faktor obyektif. Meskipun bukan merupakan hal pokok, namun sering menentukan bagi terbentuknya bangsa dalam pengertian politik. Jadi, dalam kedua pengertian bangsa itu, ada kaitan yang sangat erat dan penting. Menurut Otto Bauerdari Austria, nasionalisme adalah kebersamaan demikian menumbuhkan suatu persatuan dan kesatuan bangsa,. Bangsa meurutnya adalah sautu character gemeinschaft, suatu persamaan watak, dan persamaan watak itu tumbuh karena ada suatu schicksalgameinschaft yaitu suatu perasaan nasib yang telah dialami bersama. (Roeslan Abdulgani, Pancasilaa Perjalanan Sebuah Ideologi (Jakarta : Grassindo, 1998) Hal ; 122).
Dalam perkembangannya, konsepsi kebangsaan negara-negara barat yang notabene menganut paham sekuler ternyata tidaklah benar sepenuhnya, dimana nilai-nilai kegamaan masih sangat kental ditemukan disana. Dalam fenomena kekinian, terindikasi bahwa kondisi tersebut semakin menguat. Semua di atas jika ditari ke belakang maka tidak akan terlepas dari semangat barat dalam menyebarkan dan mengumandangkan gold, glory and gospel. Begitupun dengan bangsa-bangsa timur, tumbuh dan berkembangnya jiwa nasionalisme memang dapat dikatakan sebagai effect  dari adanya kolonialisasi dan imperialisme barat, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa semangat dan nilai-nilai keagamaan mempunyai andil dan peran yang sangat signifikan yang menjadi api sekaligus bahan bakar perjuangan mebebaskan bangsa melawan penjajahan. Kondisi tersebut menjadi perbincangan untuk diangkat dalam persoalan nasionalisme di Indonesia khususnya menyangkut nasionalisme religius yang memang kiranya lebih inklusif dan sesuai dengan karakteristik masyarakat Indoenesia yang religius tanpa terlepas dari keyakinan masyarakat Indonesia yang beragam. Pemahaman dan penjiwaan nasionalisme sudah sepatutnya mengalami rekonstruksi agar mampu menghadapi tantangan globalisasi yang semakin meretaskan batas-batas sosiokultur dan geografis negara-negara bangsa saat ini.
Nasionalisme dalam agama dipandang sebagai turunan dari ideologi Pancasila yang kemudian melahirkan satu paham nasionalis religius dalam tata perpolitikan bangsa Indonesia, tidak dapat menjadi satu ideologi baru yang bertentangan dengan falsafah pancasila.
Persoalan bangsa kita ke depan adalah bagaimana mengelola kemajemukan agar menjadi faktor eskalator terbangunnya kebersamaan bangsa menuju kesatuan politik. Dari sini proses nation  building menjadi agenda penting yang harus dibina dan ditumbuhkembangkan. Soekarno, misalnya membangun rasa kebangsaan dengan membangkitkan sentimen nasionalisme yang menggerakkan suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa mereka itu adalah satu golongan, satu bangsa. Mohammad Hatta juga menekankan rasa kebangsaan ada keinsyafan persamaan nasib dan tujuan, serta keinsyafan sama seperuntungan.
Dengan demikian, proses pemersatuan bangsa dalam suatu negara, seperti diungkap Coleman dan Rosberg, mesti didasarkan pada dua dimensi, pertama, integrasi vertikal bertujuan untuk menjembatani celah perbedaan yang mungkin ada di antara elite dan massa dalam rangka pengembangan suatu proses politik terpadu dan masyarakat politik yang berpartisipasi. Kedua, integrasi horizontal yang bertujuan mengurangi diskontinuitas dan ketegangan kultur kedaerahan menuju masyarakat politik yang homogen untuk membangun masa depan negeri ini dengan label  reformasi yang menghargai dan mengakui pluralitas, diperlukan penataan kembali komitmen kebangsaan melalui pematangan budaya dan integrasi. Upaya ini, pada dasarnya berkaitan dengan penciptaan rasa kebersamaan, yang antara lain bisa tercipta ketika sistem politik mampu mengalirkan kepuasan kepada masyarakat. Komitmen kebangsaan bukanlah suatu yang secara taken for granted tersedia. Karenanya proses nation building  harus berjalan terus. Dengan demikian kepada cita-cita masyarakat demokratis yang akan menciptakan bangunan dasar negara bangsa yang modern.
Konsep nasionalisme raligius (berlandaskan nilai-nilai keislaman) tidak  hanya berada pada tataran teoritis melainka harus ada upaya pengkontekstualisasian dalam kehidupan nyata. Jangan hanya gagasan-gagasan atau wacana –wacana kosong yang tanpa arti dan tidak membawa efek kemajuan bangsa Indonesia. Semangat kebangsaan yang berlandaskan kepada spirit keagamaan kira-kira harus terus dibumikan di bumi Indonesia yang religius.


Penghayatan akan spirit keagamaan kiranya tidak hanya ada pada tataran kaum ulama atau cendekiawan, tetapi harus diejawantahkan dalam perilaku para elit dan pemimpin bangsa Indonesia ke depan guna membangun masa depan Indonesia yang lebih baik, sehingga cita-cita baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang baik dan penuh ampunan Tuhan) dapat terwujud.

Pergerakan Dakwah dan Politik
Perkembangan dunia dakwah di Indonesia pernah mengalami pasang surut pada zaman orde baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto. Hingga akhir tahun 1980-an rakyat Indonesia terutama umat islam mengalami gangguan ketika menjalankan aktivitas beragamanya, yaitu kebebasan berdakwah serta kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya. Masa itu merupakan masa yang kelam bagi perkembangan dakwah islam. Apalagi bila dakwah itu berisi kritikan terhadap kekuasaan.
Pengertian dakwah secara semantik perkataan dakwah berasal dari bahasa arab, yaitu da’a –yad’u. Yang artinya mengajak, mengundang atau memanggil. Kemudian menjadi kata da’watun yang artinya panggilan, undangan atau ajakan. Istilah lain yang identik dengan kata dakwah ialah tabligh. Dengan demikian secara etimologis dakwah dan tabligh berarti suatu proses penyampaian pesan-pesan yang berupa ajakan tersebut. (Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997. Cet. Ke-2 Hal 33-38). Sedangkan ajaran agama islam yang tujuannya agar orang melaksanakan ajaran agama dengan sepenuh hati. Di dalam kegiatan tabligh itu terdapat unsur-unsur ajakan, seruan, panggilan, agar orang yang dipanggil berkenan mengubah sikap dan perilakunya sesuai dengan ajaran agama islam yang dianutnya.
Pada dasarnya lapangan dakwah itu sangat luas sekali, meliputi perikehidupan manusia itu sendiri. Lapangan dakwah meliputi semua aktivitas manusia dalam hubungannya secara totalitas, baik sebagai individu, anggota masyarakat, bahkan warga alam semesta. Bagi seorang muslim dakwah merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kewajiban dakwah merupakan suatu yang bersifat conditio sine quanon, tidak mungkin dihindarkan dari kehidupannya. Dakwah karenan melekat erat bersamaan dengan pengakuan dirinya sebagai seorang yang mengaku diri sebagai seorang muslim maka secara otomatis pula ia menjadi seorang juru dakwah.
Merujuk pada surat Al-Asyr, merugilah orang islam yang tidak saling berpesan tentang kebenaran dan kesabaran. Saling berpesan merupakan fungsi dakwah dan kesabaran. Saling berpesan merupakan fungsi dakwah itu sendiri yaitu suatu kontrol sosial yang disandarkan pada kebenaran, dengan disertai semangat tetap konsisten, tahan uji dan sabar. Orientasi dakwah adalah penghargaan kepada harkat dan derajat manusia, dimana bentuk dakwah mutlak menghargai prinsip-prinsip humanisme.
Politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi atau sifat perbuatan. Disini politik berarti bertindak bijaksana dan bijak. Kata lain adalah politics yang berarti seni atau ilmu tentang pemerintahan. Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani τα πολιτικά (politika - yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya πολίτης (polites - warga negara) dan πόλις (polis - negara kota).
Secara etimologi kata "politik" masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Kata "politis" berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata "politisi" berarti orang-orang yang menekuni hal politik.
Jika dilihat secara Etimologis yaitu kata "politik" ini masih memiliki keterkaitan dengan kata-kata seperti "polisi" dan "kebijakan". Melihat kata "kebijakan" tadi maka "politik" berhubungan erat dengan perilaku-perilaku yang terkait dengan suatu pembuatan kebijakan. Sehingga "politisi" adalah orang yang mempelajari, menekuni, mempraktekkan perilaku-perilaku didalam politik tersebut. (http://pengertian-ilmu-sistem-politik.blogspot.co.id/2015/09/pengertian-politik-menurut-para-ahli-secara-etomologi-umum-02.html diakses pada hari Kamis tanggal 20 April 2017 pukul 7.46)
Lalu bagaimana dengan problematika dikaitkan dengan radikalisme?
BANGKITNYA gerakan radikalisme agama dewasa ini, secara historis sulit dilepaskan dari reaksi negatif atas gelombang modernitas yang membanjiri negara-negara Muslim pada awal abad ke-20. Pengaruh modernitas ini bukan hanya pada dimensi kultural, tetapi juga dimensi struktural-institusional, seperti sains dan teknologi serta instrumen modern lainnya, khususnya pandangan mengenai kesadaran kebangsaan yang melahirkan konstruksi negara-bangsa modern.

Reaksi tersebut muncul akibat ketidakmampuan kultur masyarakat merespons nilai-nilai dan norma-norma baru yang diusung gelombang modernitas ini. Tidak seperti di negara-negara Eropa Barat di mana kesadaran nasional berakar, tumbuh, dan berkembang dari perlawanan terhadap kekuasaan feodal dan negara absolut, gelombang nasionalisme di Asia, Afrika, dan negara-negara Muslim di Semenanjung Arab, Timur Tengah, lahir justru dari perlawanan terhadap kolonialisme Eropa.
Situasi itu tentu saja membawa dampak traumatis sehingga hadirnya ideologi nasionalisme di negara-negara Muslim mengalami ketegangan yang tajam, bahkan perlawanan dari unsur-unsur pembentuknya. Di samping realitas masyarakatnya yang sangat plural, dipertentangkannya konsepsi negara-bangsa sekuler modern dengan universalisme tatanan berdasar agama, telah mempertajam ketegangan dan benturan politik-ideologis yang menghambat perkembangan kesadaran kebangsaan.
Akibatnya, konstruk negara-bangsa modern di negara-negara Muslim umumnya mengalami delegitimasi dan ancaman terus-menerus. Dan, kondisi ini diperparah oleh krisis yang dialami negara-bangsa sendiri berikut kelemahan-kelemahannya yang mendasar, serta kenyataan akan minimnya basis kultural bagi terbentuknya civil society modern dalam masyarakat.
Krisis negara-bangsa umumnya dipicu oleh fakta bahwa ia lebih berperan sebagai "Republic of Fear", meminjam istilah Samir al-Khalil, yang melakukan pemaksaan dan penyeragaman seluruh entitas etnis dan budaya lokal dalam entitas lain yang bernama "identitas nasional", hal mana telah mengakibatkan legitimasi negara-bangsa begitu lemah.
Demikian juga kenyataan sosial yang sangat plural dan tanpa kesadaran berdemokrasi telah menciptakan persaingan antar-etnis, dan sektarianisme yang tak terelakkan untuk memperebutkan akses politik dan ekonomi. Celakanya, civil society sebagai komunitas politik di mana masyarakat membagi norma-norma dan nilai-nilai guna membangun konsensus bersama atas dasar kemajemukan, kebebasan, dan kesetaraan, ternyata demikian rapuh.
Konsekuensinya, ketidakmampuan negara-bangsa menyemai kondisi-kondisi politik yang demokratis dan menyelesaikan krisis ekonomi serta ketidakadilan sosial telah membangkitkan frustrasi masyarakat. Situasi demikian tak pelak ikut melahirkan gerakan fundamentalisme agama yang lebih bersifat ideologis dan politis untuk mendelegitimasi negara-bangsa dan menggantikan tatanan maupun nilai-nilai demokrasi "sekuler", yang dianggap sebagai biang berbagai krisis tersebut, dengan tatanan Islam. (Bassam Tibi, 1998)

RADIKALISME agama sebagai fenomena yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini, terutama dengan maraknya sejumlah "laskar" atau organisasi berlabel agama yang diduga menciptakan kekacauan dan teror, eksistensinya sulit dipisahkan dari faktor-faktor tersebut di atas: krisis kebangsaan dan minimnya basis kultural demokrasi.
Krisis kebangsaan ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa kesadaran nasional mengenai "Indonesia" lebih dominan dibangun oleh perekat politik ketimbang perekat budaya. Negara (state) dalam hal ini demikian memonopoli penciptaan idiom-idiom "identias nasional" tanpa memberi ruang bagi budaya dan entitas lokal untuk memaknai kebangsaannya.
Pola penyeragaman demikian itu, khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru, telah mengebiri dan memandulkan proses kreativitas dan emansipasi kesadaran masyarakat. Lalu, ketika keran kebebasan dan demokratisasi terbuka lebar, tuntutan akan pemberdayaan dan partisipasi politik rakyat makin membesar, dan seiring dengan itu muncul pula gerakan penegasan identitas komunal masyarakat, seperti etnisitas, budaya lokal, dan terutama gerakan fundamentalisme agama.
Meski demikian, ketidakadilan sosial dan krisis negara-bangsa ini bukanlah faktor tunggal suburnya gerakan-gerakan radikalisme agama. Ada faktor terpenting yang tidak bisa diabaikan, sebagaimana diutarakan Ketua PBNU, Hasyim Muzadi, beberapa hari lalu (Kompas, 3/11/2002), yaitu penerapan ajaran-ajaran agama yang mengabaikan aspek sosio-kultural masyarakat setempat.
Penolakan total terhadap tradisi lokal, sekaligus pada perkembangan modernitas dengan tanpa mengadaptasikan ajaran agama dengan kebutuhan sejarah dan konteks sosial, pada akhirnya melahirkan sikap eksklusif dan pandangan ekstrem dalam beragama.
DALAM perspektif historis, radikalisme agama di Tanah Air adalah warisan dari ketidakmampuan sebagian kelompok Islam menegosiasikan dogma dan doktrin keagamaannya dengan realitas sosial dan kebutuhan masyarakat tentang pentingnya wawasan kebangsaan sebagai entitas yang menjamin pluralisme. Antagonisme politik dan ideologis antara Islam dan negara ini, dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan, ketika elite politik terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka.

Kendati ada upaya mencari jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik, dan simbolistik masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru. (Bahtiar Effendy, 2001)
Namun demikian, tanpa mengabaikan arus transformasi intelektualisme baru Islam dewasa ini, proses "reproduksi" Islam radikal pun terlihat tidak pernah surut. Hal ini terutama tampak pada tema-tema ideologis yang diusung kalangan Islam radikal yang "lebih vulgar", yang memfokuskan gerakannya pada empat agenda utama: mendirikan negara Islam dan menegakkan syariah, seraya menolak demokrasi dan kepemimpinan perempuan. Hebatnya, gerakan para aktivis Islam radikal ini telah memasuki ruang beberapa partai-partai politik Islam di Tanah Air. (Lihat penelitian Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, 2002)
Di sini tampak jelas bahwa sebagian kalangan Islam masih memosisikan secara dikotomis dan antagonistik antara Islam dan kebangsaan, dan menolak sintesis yang memungkinkan antara agama dan negara dalam kehidupan politik.
Selain itu, akibat dari pemahaman keagamaan yang simbolistik ini, nilai-nilai universal demokrasi, seperti: kebebasan, kesetaraan, pluralisme, dan hak asasi manusia belum dipahami sebagai bagian inheren dari pesan-pesan profetis agama. Sebagaimana hal ini ditunjukkan secara tegas dari upaya mereka menuntut formalisasi syariah dalam hukum dan perundang-undangan negara.
DEMIKIANLAH, sesungguhnya banyak faktor dan penyebab yang memungkinkan suburnya gerakan radikalisme agama di Tanah Air. Pemahaman keagamaan yang ekslusif, skripturalis, dan miskinnya kesadaran sejarah dalam penafsiran teks-teks kitab suci, telah mewariskan sikap-sikap yang fanatik, dogmatik, dan intoleran dalam menyikapi perkembangan global.
Di sisi lain, ketidakpuasan terhadap kebijakan politik negara-bangsa modern yang dominatif dan manipulatif, berikut krisis yang diakibatkannya, telah menjadi tempat persemaian paling strategis bagi gerakan ini.
Akhirnya, dengan memahami kompleksitas masalah yang melatarbelakanginya, kita sangat berharap gerakan radikalisme agama dapat diatasi secara tegas dan komprehensif tanpa mengorbankan proses demokratisasi yang kini tengah berlangsung di depan mata.
Kalangan Agama Perlu Selesaikan Problem Kebangsaan
Jakarta, Kompas - Agamawan perlu mencari landasan yang sama dan menemukan musuh bersama untuk menyelesaikan problem kebangsaan. Musuh bersama itu bukan pemeluk agama lain, tetapi masalah kemanusiaan dan kebangsaan yang menyengsarakan rakyat.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam dialog keumatan dengan tema ”Kontribusi Umat Beragama bagi Kesejahteraan Bangsa dan Perdamaian Dunia” di Jakarta, Kamis (18/9).
Dialog yang diselenggarakan Partai Keadilan Sejahtera ini juga menghadirkan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Andreas Yewangoe dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Sekjen Indonesia Community for Religion and Peace Theophilus Bela, Sekretaris Parisada Hindu Dharma Indonesia I Ketut Parwata, dan WS Asumtapura dari Masyarakat Thionghoa Indonesia sebagai pembicara.
”Kalangan agama harus bergerak mengatasi masalah dunia dan bangsa ini. Apalagi, disadari bahwa politik saja tidak bisa sendiri menyelesaikan masalah kebangsaan sekarang,” ujarnya.
Menurut Din, dialog antar-agama tetap diperlukan meskipun sering muncul sikap sinisme dari masyarakat yang meragukan efektivitas dialog karena masih ada ketegangan dan konflik.
”Namun, secara berseloroh saya mengatakan, ada dialog saja sering konflik, apalagi kalau tidak ada. Namun, dalam konteks Indonesia, dialog merupakan keniscayaan,” ujarnya.
Apalagi, menurut Din, agama di Indonesia pernah berperan sebagai penyelesai masalah meski sekarang agak kurang. Bahkan, agama menjadi bagian dari masalah karena menjadi pembuat masalah.
Dalam sambutan pembukanya, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Sidiq mengatakan, tokoh agama punya kemampuan untuk mengubah bangsa ini. Apalagi, ketika politisi tidak bisa menyelesaikan problem bangsa sendiri. ”Kita melihat politisi saat ini banyak disorot soal penyimpangan, bukan prestasi. Ini tentu membuat makin banyak warga masyarakat kecewa,” ujarnya.
Dalam konteks kebangsaan, Hidayat mengatakan, Indonesia sudah memiliki etika kehidupan berbangsa dan visi Indonesia masa depan. Etika yang sudah dituangkan dalam Tap MPR itu sangat menekankan pentingnya religiusitas.
Menurut Hidayat, tak ada ajaran agama mana pun yang mengajarkan korupsi. Karena korupsi telah membuat malu anak bangsa terhadap bangsa Indonesia, cukup alasan untuk dijadikan musuh bersama.
”Keberagamaan kita saat ini punya agenda besar untuk menyelesaikan masalah bangsa. Komitmennya untuk kemaslahatan bangsa,” ujarnya.
Yewangoe mengatakan, lembaga keagamaan tidak mau diidentikkan dengan satu partai tertentu. Agama dalam substansi pasti baik. Namun, dalam penampakan sejarah, selalu saja ada jurang dari yang semestinya dilakukan dan kenyataan yang dilakukan.
Dari beberapa perspektif dan berbagai sumber maka, dapat dikatakan bahwa problematika kebangsaan dapat diselesaikan dengan tujuan demi kemaslahatan bangsa maka akan ditemukan cara-cara tertentu yang disesuaikan dengan ideology Pancasila.












DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani Roeslan. Pancasila  Perjalanan  Sebuah Ideologi.  Grassindo: Jakarta, 1998
Armstrong Karen, Muhammad. A Biography of The Prophet. Gutternberg Project, 2000
Barber Benjamin R. Jihad v MC World : Fundamentalisme, Anarkisme Barat dan Benturan Peradaban. Pustaka Promethea: Surabaya, 2002
Bruce B Lawrence. Menepis Mitos, Islam di Balik KekerasanSerambi Ilmu Semesta: Jakarta, 2000
Dault, Adhyaksa. Islam & Nasionalisme, Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional. Yadaul : Jakarta, 2003
Huntington Samuel P. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Pustaka Utama Grafiti: Jakarta, 1995
Koto, Samuel. Pluralitas dan Demokrasi, 2002
Prasodjo Imam B. The End of Indonesia? : Kompas, 2002
Tasmara Toto. Komunikasi Dakwah. Gaya Media Pratama: Jakarta, 1997
Tiara. Ancaman Fundamentalisme Wacana, Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Barat. Jakarta, 2000
UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2
Watson C.W. Margono. Rahmani Muhajir Arif. Membaca A.M. Fatwa Perubahan dan Konsistensi. Teraju (PT Mizan Publika): Jakarta, 2008
Yatim Badri. Soekarno, Islam dan Nasionalisme. Logos: Ciputat, 1999
Zada Khamami. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia.  2002


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ASEAN YOUTH CULTURAL EXPOSURE 2017

ASEAN YOUTH CULTURAL EXPOSURE 2017 THAILAND Pemuda yang berprestasi sejatinya selalu melakukan hal-hal yang baru dan bermanfaat bagi sem...