Rabu, 30 Agustus 2017

ASEAN YOUTH CULTURAL EXPOSURE 2017

ASEAN YOUTH CULTURAL EXPOSURE 2017 THAILAND
Pemuda yang berprestasi sejatinya selalu melakukan hal-hal yang baru dan bermanfaat bagi semua orang, sebagai pemuda yang masih berstatus mahasiswa adalah kesempatan untuk berprestasi sebanyak mungkin untuk bekal di masa dewasa kelak, salah satunya adalah seorang mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta bernama Riswandi, mahasiswa PPKN FIS UNJ angkatan 2015 tersebut baru saja mengikuti kegiatan pertukaran pemuda di bidang kebudayaan yaitu Asean Youth Cultural Exposure 2017 Thailand, kegiatan tersebut berlangsung sejak tanggal 15-19 Agustus 2017 di Bangkok, Thailand.
Kegiatan yang dipelopori oleh organisasi yang berdiri di Yogyakarta bernama Youth Center to Act for Nation (YOUCAN) diikuti oleh sekitar 68 mahasiswa dari seluruh Indonesia dan beberapa mahasiswa di ASEAN seperti Malaysia dan Thailand. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan pertukaran kebudayaan dan ajang promosi pariwisata bagi daerah masing-masing delegasi. Seleksi yang dilakukan pun cukup ketat karena tidak semua orang sanggup untuk mengikuti kegiatan tersebut, orang-orang yang terpilih adalah mereka yang memiliki bakat serta kemauan untuk memajukan kebudayaan dan pariwisata daerah masing-masing.
Berawal dari tahun 2016 lalu, Ris sapaan akrab Riswandi mulai mengikuti seleksi kegiatan tersebut, namun karena terbentur dengan jadwal kuliah akhirnya niat untuk mengikuti seleksi diurungkan, hingga bulan Mei 2017 Ris menerima email dari pihak Youcan bahwa telah dibuka seleksi untuk kegiatan Asean Youth Cultural Exposure di Thailand, Ris langsung mendaftar melalui online setelah tiga hari mendapat balasan bahwa Ris dinyatakan lolos seleksi kegiatan tersebut mewakili Universitas Negeri Jakarta. Dua hari kemudian Ris langsung menyusun proposal untuk mengajukan dana karena kegiatan tersebut membutuhkan dana sebesar Rp. 7.850.000. Sebelum mengajukan dana terlebih dahulu membuat list lembaga-lembaga yang akan diajukan proposal, banyak sekali rintangan yang dialami dalam mencari bantuan dana, ditolak beberapa perusahaan dan lembaga-lembaga yang belum bersedia memberikan bantuan dana tidak membuat semangatnya pudar, dia terus berusaha mencari bantuan dana, menghubungi senior dan beberapa organisasi yang diikutinya, alhamdulillah beberapa seniornya memberikan bantuan dana dan juga dari organisasinya seperti BEM P PPKN dan Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta, selain dari dana tersebut, dia juga mendapatkan bantuan dana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Wakil Rektor III bidang kemahasiswaan. Dana yang didapatkan cukup besar masing-masing satu juta rupiah, dia juga mendapatkan bantuan dana dari beberapa dosen dan sahabat-sahabatnya.
Setelah berjuang mencari bantuan dana tibalah saatnya berangkat ke Thailand, dia berangkat tanggal 14 Agustus 2017 karena mendapatkan tiket murah pada tanggal tersebut, belum sempat menukar uang ke mata uang Thailand terpaksa dia harus menukar di bandara sehingga nilai belinya lebih tinggi, nah tips bagi kalian yang ingin bepergian ke luar negeri tukarlah uang rupiah anda jauh-jauh hari sebelum anda berangkat dan hindari menukar uang di bandara, setelah beberapa jam di pesawat tibalah di bandara Don Mueang Thailand, di bandara tersebut dia juga banyak mendapatkan pelajaran dari komunikasi dengan petugas bandara, banyak sekali petugas di bandara yang tidak bisa berbahasa Inggris, ketika di bandara dia bertanya dimana tempat shalat orang muslim dan semua petugas yang berjaga stand product di bandara tidak mengerti, akhirnya dia bertanya ke bagian information dan baru dia mengetahui tempat shalat ada di lantai tiga.
Setelah shalat dia berjalan mengelilingi bandara dan memperhatikan interaksi setiap orang, ada banyak warga negara asing yang ada di bandara tersebut dengan budaya masing-masing saat berinteraksi, salah satu pengalaman unik di bandara adalah bertemu dengan orang muslim asli Thailand yang fasih berbahasa Indonesia yang banyak bercerita tentang islam di Thailand, di Thailand bagian timur adalah wilayah yang mayoritas islam, dan banyak sekali masjid, sementara di Thailand bagian tengah dan barat sangat sedikit masjid tetapi toleransi warga Thailand sangat tinggi, hal itu dialaminya ketika mencari tempat shalat di bandara salah satu petugas mengantarnya sampai di mushalla.
Keesokan harinya para delegasi mulai berdatangan di Thailand dan menuju hotel, hotel yang dijadikan penginapan yaitu Aunchaleena Bangkok Hotel, malam harinya kegiatan Asean Youth Cultural Exposure dibuka oleh panitia saat welcome dinner, para delegasi juga mendapatkan kaos dan guidebook serta name tag yang akan digunakan selama kegiatan berlangsung, kegiatan tersebut diikuti oleh mahasiswa dari seluruh Indonesia diantaranya dari UNJ, IPB, UI, ITB, UNTIRTA, UNHAS, UNSOED, Riau, Kalimantan, NTT, Makassar, Sumatera, Bengkulu, Surabaya, Yogyakarta, Semarang dan masih banyak lagi.
Hari kedua di Thailand, kegiatan para delegasi adalah field trip and amazing race ke beberapa tempat di Thailand seperti Lumphini Park dan MBK Center, dalam kegiatan tersebut para delegasi diberikan tugas untuk mewawancarai turis dan masyarakat asli Thailand mengenai kebudayaan Indonesia, para delegasi mencari informasi apakah mereka tahu kebudayaan Indonesia atau tidak dan bagaimana kebudayaan masyarakat Thailand, salah satu turis yang diwawancarai Ris adalah warga negara Perancis bernama  Steven, dari hasil wawancara terebut ternyata turis tersebut mengetahui banyak tentang Indonesia, lanjut mewawancarai warga Thailand, sulit sekali untuk bisa berkomunikasi dengan warga Thailand karena mereka tidak bisa berbahasa Inggris, sehingga tugas untuk mencari informasi tentang Indonesia dari orang Thailand tidak dapat diselesaikan, ternyata di Thailand yang bisa berbahasa Inggris hanya mereka yang berpendidikan, bekerja di instansi pemerintahan dan mereka yang sering berinteraksi dengan orang asing seperti orang-orang yang bekerja di tempat wisata yang banyak dikunjungi orang asing.
Setelah dari Lumphini Park perjalanan dilanjutkan ke MBK Center, MBK Center adalah tempat belanja yang menjual segala macam produk dan kerajinan tangan yang bisa dibawa sebagai oleh-oleh, di tempat tersebut juga delegasi mendapat tugas untuk mewawancarai bagaimana strategi pemasaran sehingga produk yang mereka jual laris dan banyak pembeli, dari hasil wawancara di MBK Center ditemukan satu jawaban bahwa untuk bisa menarik pembeli adalah dengan memberikan senyuman serta keramahan saat melayani pembeli serta memberikan kebebasan kepada pembeli untuk memilih barang. Setelah menjalani rangkaian tugas para delegasi kembali ke hotel untuk beristirahat, namun sebelum beristirahat para delegasi melakukan gladi resik untuk performance.
Gladi resik diatur oleh salah satu dosen seni dari Universitas Chulalangkorn yaitu Miss Koong, sebagai delegasi dari Jakarta Riswandi menampilkan kebudayaan Betawi yaitu Nandak Betawi, tarian yang biasa diperagakan oleh abang none ketika pemilihan abang none yang musiknya adalah musik ondel-ondel, tarian tersebut juga memiliki cerita yaitu keceriaan para remaja yang beranjak dewasa, para delegasi serta dosen tersebut juga turut menari mengikuti irama yang ceria dari tarian tersebut.
Hari ketiga tepat tanggal 17 Agustus, para delegasi berangkat ke Kedutaan Besar RI untuk mengikuti upacara peringatan hari kemerdekaan ke-72, namun sangat disayangkan para delegasi tidak bisa mengikuti upacara dari awal karena jalanan yang sangat macet sehingga para delegasi tiba di kedubes ketika penaikan bendera merah putih, saat di kedubes pun para delegasi tidak bisa berlama-lama karena harus menuju tempat untuk performance, setelah 1 jam perjalanan tibalah di tempat untuk performance para delegasi bersiap-siap dan berganti pakaian untuk menampilkan tarian masing-masing. Riswandi menampilkan Nandak Betawi di combine dengan tari Piring, tari Ronggeng dan Jaipong.





Penampilan para delegasi diapresiasi oleh salah satu sekolah  yang ada disana yang juga turut menyaksikan penampilan mereka dengan memberikan sertifikat sebagai wonderful performance, kebahagiaan dan kepuasan terlihat dari wajah para delegasi yan telah memberikan penampilan terbaik mereka dan tepuk tangan yang meriah dari penonton, tidak hanya delegasi dari Indonesia yang memberikan penampilan tetapi dari Malaysia dan Thailand juga, ada satu nyanyian yang cukup bagus yang ditampilkan serta tarian yang juga bagus sehinggat seluruh orang di ruangan tersebut diajak untuk mengikuti tarian itu, tarian yang menjadi ciri khas Thailand.
“Saya juga mendapatkan pengalaman dan pelajaran yang berharga di tempat performance tersebut, ketika selesai tampil dan sesi foto, saya ingin shalat, di tempat tampil tersebut tidak ada tempat shalat karena tak satupun dari mereka yang beragama islam, yang unik adalah salah satu guru dari tempat tersebut berlari menyiapkan ruangan untuk shalat dan ruangan itu ada di lantai tiga, ruangan tersebut adalah ruangan untuk berlatih menari dan guru tersebut menyiapkan lalu kembali ke bawah menjemput saya dan teman-teman untuk menuju ruangan tersebut. Sungguh terharu ketika melihat toleransi dan kepeduliaan orang-orang yang tidak beragama islam tapi sangat peduli kepada umat islam untuk beribadah, ini menjadi satu peringatan besar kepada diri saya dan mudah-mudahan kepada para pembaca sekalian, bahwa betapa pentingnya beribadah dan pentingnya toleransi.”
Setelah kegiatan selesai para delegasi kembali ke hotel untuk beristirahat karena besoknya harus berangkat ke UNCC untuk presentasi, para delegasi akan mempromosikan pariwisata serta kebudayaan daerah masing-masing. Antusias para delegasi untuk presentasi sangat besar sampai-sampai harus begadang untuk menampilkan yang terbaik buat besok.

“Supaya tidak terlalu tegang, saya dan delegasi yang lain berkeliling ke sekitar jalanan di dekat hotel mencari jajanan, sekaligus mempelajari cara membeli makanan yang halal serta makanan apa saja yang dijual, walaupun hujan turun pada malam itu tidak membuat kami berhenti menjajaki makanan, banyak hal-hal lucu yang kami alami, pertama tempat berjualanyang juga banjir dan tenda-tenda yang bocor, yang lebih uniknya kami sering beli dan menawar makanan layaknya di Indonesia karena para pedagang tidak mengerti bahasa Inggris, dan kami tidak mengerti bahasa Thailand sehingga cara berkomunikasinya menggunakan bahasa isyarat, bahkan kami juga sering bercanda sambil tertawa dan mereka para pedagang juga ikut tertawa karena tingkah lucu kami.”
Makanan yang dijual hampir sama dengan makanan yang ada di Indonesia hanya yang membedakan adalah rasa dan kandungan makanannya, karena daerah Thailand mayoritas beragama non islam maka banyak makanan yang haram, sehingga harus hati-hati juga memilih dan membeli makanan, kurang lebih 3 jam berkeliling menjajal makanan di Thailand. Pagi hari seluruh delegasi sarapan dan bersiap-siap berangkat ke UNCC untuk presentasi, perjalanan pada hari itu cukup lancar karena kita berangkat lebih cepat sehingga tidak terkena macet, sesampainya di UNCC dengan pemeriksaan yang sangat ketat, para delegasi memasuki ruangan dan tibalah di tempat presentasi, namun yang mengecewakan adalah para pembicara dari pihak Thailand belum memasuki ruangan, ternyata para delegasi teralu cepat sampai, setelah para pembicara tiba mulailah presentasi dan tanya jawab, lalu dilanjutkan dengan coffee Break, setelah itu para delegasi laki-laki mencari masjid untuk shalat Jum’at, ada cerita yang menarik juga dan ada juga pelajaran yang saya ambil ketika Jum’atan, di masjid tersebut disediakan minuman gratis bagi para jamaah, dan yang uniknya adalah kami kesulitan mendapatkan taksi untuk kembali ke UNCC, kami memberhentikan taksi sebanyak 12 kali karena setiap taksi yang kami hentikan tidak mengerti bahasa Inggris dan tidak mengetahui tempat tujuan kami, beberapa turis juga kesulitan bahkan di taksi yang terakhir kami sempat berebut taksi, untung kami duluan baru turis itu, yang lucunya taksi yang terakhir supirnya juga tidak mengerti bahasa Inggris dan tidak mengetahui alamat yang kami tuju, hingga akhirnya salah satu teman saya menunjukkan foto gedung UNCC baru supir taksi tersebut tahu.
Sungguh pengalaman yang unik, sambil berdialog kami juga meledek mereka menggunakan bahasa Indonesia, karena kami kesal kenapa mereka yang menjadi supir taksi tidak bisa berbahasa Inggris padahal pelanggan mereka mayoritas orang asing. Setelah kami mendapatkan taksi dan menuju gedung UNCC presentasi dilanjutkan.
Setelah presentasi selesai perjalanan dilanjutkan menuju tempat wisata, yaitu Wat Arun, tempat wisata tersebut sudah sering dikunjungi oleh orang Indonesia, sekitar 20 menit perjalanan tibalah di Wat Arun, untuk menuju Wat Arun kita harus menyebrang menggunakan kapal fery kecil karena Wat Arun berada di seberang sungai terbesar yang ada di Thailand, harga tiket masuknya hanya 4 baht atau dalam rupiah sebesar Rp. 1.600. Wat Arun adalah bangunan yang merupakan tempat tidurnya Budha, ada banyak sejarah di balik tempat tersebut, keunikan tempat wisata tersebut adalah ketika belanja, mereka yang berjualan cukup fasih berbahasa Indonesia dan transaksi pun bisa menggunakan rupiah, tempat oleh-oleh tersebut menjual kaos, gelang, kalung, tas, gantungan kunci yang harganya cukup terjangkau, setelah menelusuri ternyata mereka bisa berbahasa Indonesia karena mendengar percakapan orang Indonesia yang berlibur disana.
Setelah itu lanjut ke tempat makan malam, untuk gala dinner dilaksanakan di atas kapal yang besar, gala dinner di Chao Phraya, sungguh malam penutupan yang sangat seru karena makanan yang disajikan adalah makana khas laut, diiringi musik serta pemandangan yang indah di malam hari, pada malam itu saya juga sempat bertemu dengan orang Medan yang berlibur di Thailand, semua delegasi merasa bahagia pada malam itu, setelah gala dinner selesai, semua delegasi kembali ke hotel untuk beristirahat karena besok harinya sudah pulang ke Indonesia.
Beberapa pelajaran yang saya ambil dari perjalanan saya selama di Thailand mengikuti kegiatan Asean Youth Cultural Exposure 2017 yaitu :
1.      Pentingnya mencintai budaya daerah sendiri
2.      Pentingnya mengharumkan budaya dan pariwisata ke negara lain
3.      Pentingnya sikap toleransi antar umat beragama
4.      Pentingnya berbahasa Inggris
5.      Pendidikan menentukan kualitas diri seseorang
6.      Budaya Indonesia sangat banyak dan sangat unik
7.      Jadilah orang yang ramah ketika ingin memperkenalkan suatu produk
8.      Kenali budaya daerah sendiri, lalu pelajari dan pertahankan
9.      Orang Thailand saja menyukai kebudayaan Indonesia dan mereka mau mempelajarinya, kita sebagai orang Indonesia asli harus lebih dari mereka.

Dokumentasi selama kegiatan:
                                                                                                        



Selasa, 01 Agustus 2017

Mengapa Ada Hukum

Mengapa Ada Hukum?
Hukum dikenal di berbagai negara di dunia, terutama Indonesia, Indonesia dikenal sebagai negara hukum, sesuai dengan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hukum yang diperkenalkan oleh Indonesia ke dunia adalah hukum yang sesuai dengan satu pepatah “hukum itu tajam ke bawah tumpul ke atas”. Ungkapan seperti itu tidak hanya dilontarkan oleh penulis tapi sang presiden Jokowi juga pernah mengungkapkan pepatah itu di istana kepresidenan Oktober 2016 silam.
Hukum yang berlaku di Indonesia belum sepenuhnya terwujud, banyaknya pelanggaran hukum yangg terjadi serta sanksi dan hukuman yang tidak sesuai dan tidak adil terus menjadi polemik di masyarakat, ada yang mengatakan bahwa hukuman buat mereka yang membunuh orang lain dengan cara sadis harus dihukum mati atau hukum seumur hidup, ada juga yang mengatakan bandar narkoba harus dihukum mati, para pelaku kejahatan seksual harus dihukum kebiri, pencuri sendal dihukum berat, koruptor dihukum 3 tahun, 5 tahun, yang menjadi pertanyaan, keadilan yang seperti apakah yang harus diberlakukan?
Segala keadilan untuk mereka yang bersalah harus sesuai dengan UU yang berlaku, jangan menghukum yang salah di bawah ketetapan UU. Kalau sudah seperti itu buat apa ada hukum? Mengapa ada hukum? Mudahnya mengintimidasi para penegak keadilan menjadi salah satu penyebab tidak adilnya hukuman. Ketidak adilan yang terjadi harus segera diperbaiki, harus segera dibenahi dan untuk memperbaiki semua itu harus diketahui dulu mengapa ada hukum?
Hukum ada untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, hukum ada untuk menghukum mereka yang bersalah, itu adalah perspektif dari banyak orang tapi sejatinya hukum ada untuk mempermudah urusan masyarakat, segala urusan masyarakat harus dilandasi hukum agar cepat selesai, dengan adanya hukum maka semua orang akan patuh, tapi yang terjadi adalah hukum ada untuk dilanggar, para pembuat hukum merumuskan segala peraturan agar mempermudah masyarakat, tapi banyak masyarakat yang mempersulit uruan mereka sendiri, padahal kalau masyarakat mematuhi hukum yang berlaku mereka tidak akan kesulitan. Banyak hal yang bisa menjadikan masyarakat kemudian tidak patuh terhadap hukum, banyak hal yang kemudian menjadikan masyarkat menjadi sulit dalam mengurus kepentingan mereka.

Kasus hukum yang terjadi di Indonesia selalu menjadi perhatian publik apalagi kasus hukum yang menjerat para anggota DPR, anggota DPR adalah mereka yang dipilih oleh rakyat, mereka yang diberi kewenangan untuk membuat UU tapi mereka melunturkan kepercayaan dari rakyat, mereka sendiri melanggar UU, ada banyak tugas DPR yang belum selesai namun satu persatu tersangkut kasus hukum sehingga masyarakat tidak percaya lagi terhadap DPR dan tidak lagi patuh terhadap hukum, bagaimana mau patuh kalau mereka saja yang membuat UU melanggarnya, dari situlah kemudian di tengah masyarakat terjadi pelanggaran hukum.

Hukum ada untuk mengatur tatanan kehidupan, tatanan kehidupan yang sudah dibangun oleh pahlawan kita dirusak dan dihancurkan oleh mereka yang memiliki kewenangan di Senayan, mereka membuat hukum menjadi tidak lagi berfungsi sesuai dengan yang semestinya, lihat kasus korupsi hambalang, kasus korupsi e-ktp, mereka semua yang menjadi koruptor adalah mereka yang menghancurkan tatanan kehidupan, mereka pantas untuk dihukum, hukum ada karena masyarakat memiliki kesulitan dalam menjalankan kehidupannya. Jadi patuhi hukum dan jalankan sesuai aturan yang berlaku... (bersambung...)

Minggu, 23 Juli 2017

MEMAHAMI HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

MEMAHAMI HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA 
                 Pentingnya mengkaji masalah hak dan kewajiban warga Negara Indonesia dalam rangka membangun kesadaran baru setiap WNI tidak saja dalam menuntut hak-haknya tetapi juga konsisten menjalankan kewajibannya baik dalam rangka mewujudkan perbaikan kehidupan pribadi, keluarga, lingkungan. Hak dan kewajiban yang ada di Negara kita menjadi suatu hal yang terikat satu sama lain, sehingga dalam praktik harus dijalankan dengan seimbang . Hak merupakan segala sesuatu yang pantas dan mutlak untuk didapatkan oleh individu sebagai anggota warga negara sejak masih berada dalam kandungan, sedangkan kewajiban merupakan suatu keharusan / kewajiban bagi individu dalam melaksanakan peran sebagai anggota warga negara guna mendapat pengakuan akan hak yang sesuai dengan pelaksanaan kewajiban tersebut . Jika hak dan kewajiban tidak berjalan secara seimbang dalam praktik kehidupan , maka akan terjadi suatu ketimpangan yang akan menimbulkan gejolak masyarakat dalam pelaksanaan kehidupan individu baik dalam kehidupan bermasyarakat , berbangsa, maupun bernegara . 
                   Dewasa ini sering terlihat ketimpangan antara hak dan kewajiban , terutama dalam bidang lapangan pekerjaan dan tingkat kehidupan yang layak bagi setiap warga negara . Lapangan pekerjaan dan tingkat kehidupan yang layak merupakan hal yang perlu diperhatikan . Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 menjelaskan bahwa “Tiap - tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan“. Secara garis besar dapat dijelaskan bahwa pekerjaan dan tingkat kehidupan yang layak merupakan hak untuk setiap warga negara sebagai salah satu tanda adanya perikemanusiaan. Lapangan pekerjaan merupakan sarana yang dibutuhkan guna menghasilkan pendapatan yang akan digunakan dalam pemenuhan kehidupan yang layak . Penghidupan yang layak diartikan sebagai kemampuan dalam melakukan pemenuhan kebutuhan dasar , seperti : pangan , sandang , dan papan . Pada era globalisasi ini sering terlihat tingginya angka akan tuntutan hak tanpa diimbangi dengan kewajiban . 

 A. PENGERTIAN HAK dan KEWAJIBAN 
               Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan melalui pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya ( Prof. Dr. Notonagoro ). Artinya, hak itu melekat pada setiap warga Negara dan ia dapat melakukan tuntutan secara hukum atau memaksa jika hak itu tidak ia dapatkan. Purbacaraka ( dalam Sri Wuryan 2006 ), sebagaimana dikutip Halim (1988) mengartikan hak adalah suatu peranan yang boleh dilakukan dan boleh juga tidak dilakukan. Adapun unsur-unsur dasar dari setiaphak adalah : (a) hak ialah kebolehan, jadi bukanlah keharusan, (b) akibatnya, seseorang atau suatu pihak tidaklah bias dipaksa kalau ia tidak mau menggunakan haknya, namun demikian juga sebaliknya, ia tidak bias dilarang kalau ia mau menggunakan haknya tersebut. Kansil membedakan hak ke dalam dua jenis hak, yaitu hak mutlak dan hak nisbi. Hak mutlak ialah hak yang memberikan wewenang kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan, hak mana dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, dan sebaliknya setiap orang juga harus menghormati hak tersebut. 
                   Hak mutlak ini selanjutnya dibagi tiga golongan yaitu : (a) Hak asasi manusia, misalnya hak untuk memeluk agama, hak untuk hidup dan sebagainya. (b) Hak publik mutlak, misalnya hak Negara untuk memungut pajak dari rakyatnya, dan (c) Hak keperdataan, misalnya hak marital (hak seorang suami untuk menguasai istrinya dan harta benda istrinya), hak perwalian, hak pengampunan dan sebagainya. Sementara itu, yang dimaksud hak nisbi atau hak relatif ialah haak yang memberikan wewenang kepada seseorang tertentu atau beberapa orang lain tertentu memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Hak relatif ini sebagian besar terdapat dalam hukum perikatan yang timbul berdasarkan persetujuan-persetujuan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam menggunakan haknya, setiap orang harus memperhatikan beberapa aspek, sebagai berikut : 
 Aspek kekuatan, yaitu kekuasaan atau wewenang untuk melaksanakan hak tersebut. Setiap hak    
   walaupun betapa besarnya dan betapapun mutlaknya, namun jika pemegangnya tidak mempunyai 
   kekuatan atau kekuasaan atai wewenang untuk menggunakanny, maka tentu saja segala hak tersebut    tidak ada gunanya sama sekali. 
 Aspek perlindungan hukum (proteksi hukum) yang melegalisir atau mensahkan aspek kekuasaan 
   atau wewenang yang member kekuatan bagi pemegang hak mutlak untuk menggunakan haknya 
   tersebut. 
 Aspek pembatasan hukum (restriksi hukum) yang membatasi dan menjaga jangan sampai terjadi 
   penggunaan hak oleh suatu pihak yang melampaui batas (kelayakan dan kepantasan) sehingga 
   menimbulkan akibat kerugian bagi pihak lain. (Ridwan Halim, 1988:178). 
               Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, maka pihak yang berkepentingan (Negara) dapat menuntut orang yang tidak melaksanakan kewajibannya. Kewajiban segala sesuatu yang dianggap sebagai suatu keharusan / kewajiban untuk dilaksanakan oleh individu sebagai anggota warga negara guna mendapatkan hak yang pantas untuk didapat . Kewajiban pada umumnya mengarah pada suatu keharusan / kewajiban bagi individu dalam melaksanakan peran sebagai anggota warga negara guna mendapat pengakuan akan hak yang sesuai dengan pelaksanaan kewajiban tersebut. Pemahaman tentang hak dan kewajiban terlebih dahulu harus dipahami tentang pengertian hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah sesuatu yang melekat pada diri seseorang sebagai ciptaan Tuhan agar mampu menjaga harkat, martabatnya dan keharmonisan lingkungan. Hak asasi merupakan hak dasar yang melekat secara kodrati pada diri manusia dengan sifatnya yang universal dan abadi. Oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, tidak boleh diabaikan, tidak boleh dikurangi dan dirampas oleh siapapun. Hak asasi manusia perlu mendapat jaminan atas perlindungannya oleh negara melalui pernyataan tertulis yang harus dimuat dalam UUD negara. Peranan negara sesuai dengan pasal 1 ayat UU No. 39/199 tentang HAM menyatakan bahwa negara, hukum dan pemerintah serta setiap orang wajib menghormati, menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi manusia. Pentingnya mengkaji masalah hak dan kewajiban warga negara Indoensia antara lain hendak membangun kesadaran baru setiap WNI tidak saja dalam menuntut hak-haknya tetapi juga konsisten menjalankan kewajibannya baik dalam kerangka mewujudkan perbaikan kehidupan pribadi, keluarga, lingkungan tugas, maupun dalam skop makro yakni kewajiban terhadap bangsa dan negara dalam manifestasi cita-cita dan tujuan negara Indonesia. Hak dan Kewajiban Warga Negara telah diatur dalam UUD 1945. 

 B. Hak dan Kewajiban Warga Negara 

 Hak Warga Negara Hukum dasar atau lazim disebut UUD 1945 dan amandemennya 
    mencantumkan hak warga negaranya berhubungan dengan hak asasi dan kewajiban asasi manusia ,     jelmaan pokok-pokok pikiran pancaran daru Pancasila. Dalam UUD 1945 telah dinyatakan hak      
    warga negara sebagai berikut : 

Pada hakikatnya, hak asasi manusia dapat digolongkan ke dalam pembagian sebagai berikut : a. Hak Sipil dan Politik, yang meliputi : 
1. Right to life – Hak untuk hidup 
2. Right to liberty and security of person – Hak atas kebebasan dan keamanan dirinya 
3. Right to equality before the courts and tribunals – Hak atas kesamaan dimuka badan-badan 
    peradilan 
4. Right to freedom of thought, conscience and religion – Hak atas kebebasan berpikir, mempunyai 
    keyakinan, beragama 
5. Right to hold opinions without interfence – Hak untuk berpendapat tanpa mengalami gangguan 
6. Right to peaceful assembly – Hak atas kebebasan berkumpul secara damai 
7. Right to freedom of association _ Hak untuk berserikat b. Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang 
   meliputi : 
     1. Right to work – Hak atas pekerjaan 
     2. Right to form trade unions – Hak untuk membentuk serikat pekerja 
     3. Right to social security – Hak atas pension 
     4. Right to an adequate of living himself and his family, including adequate food, clothing and 
         housing – Hak atas tingkatan kehidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk 
         makanan, pakaian, dan perumahan yang layak 
   5. Right to education – Hak atas pendidikan  Hak Sipil dan Politik Menurut Miriam Budiarjo  (1989), hak-hak politik pada hakikatnya mempunyai sifat melindungi individu terhadap 
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak penguasa. Maka untuk melaksanakan hak politik tersebut yakni dengan mengatur peranan pemerintah melalui perundang-undangan, agar campur tangannya dalam kehidupan warga masyarakat tidak melampui batas-batas tertentu. Jadi dengan adanya jaminan hak politik tersebut warga Negara dapat hidup dengan bebas dan tanpa tekanan dari pihak penguasa. Dengan demikian, dampak positif yang timbul adalah adanya keberanian dan kreatifitas dari warga masyarakat untuk berbuat dan menciptakan sesuatu yang berguna untuk kehidupan dirinya, keluarganya serta masyarakat. 
     1. Hak untuk hidup Jaminan hak untuk hidup dinyatakan dalam Piagam PBB tentang HAM 10 Desember 1948, terutama pada pasal 3 yang menyatakan bahwa “ setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan, dan keselamatan pribadinya”. Kemudian dinyatakan pula dalam Kovenan (perjanjian) internasional tentang hak sipil dan politik. Selanjutnya dikuatkan oleh Deklarasi Kairo yang dirumuskan pada tahun 1990, pada pasal 2 dinyatakan sebagai berikut : 
    a. Kehidupan adalah berkah Tuhan dan untuk hidup dijamin bagi tiap umat manusia. Merupakan tugas dari setiap individu, masyarakat, dan Negara untuk melindungi hak hidup dari setiap pelanggaran apapun dan dilarang untuk mencabut kehidupan kecuali berdasar syariat. 
   b. Dilarang untuk memilih jalam tersebut yang dapat mengakibatkan sebagai suatu cara yang memperbolehkan pemusnahan suatu bangsa umat.
   c. Adalah ketentuan dari Allah untuk wajib dipatuhi, sesuai dengan syari’at bahwa kehidupan seluruh umat manusia harus dilindungi sampai akhir masa. 
   d. Perlindungan dari penganiyaan adalah hak seseorang yang wajib dijamin, dan merupakan kewajiban Negara untuk melindunginya serta dilarang untuk melanggarnya tanpa berdasarkan syari’at. Dalam pasal 28 A ayat (2) menyatakan “ Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal – pasal diatas secara jelas dan tegas menggambarkan pentingnya melindungi hak hidup yang dimiliki manusia. Melanggar hak hidup tersebut berarti melakukan tindakan yang melanggar konstitusi. Dengan adanya jaminan perlindungan hak hidup tersebut, manusia dapat melaksanakan berbagai aktivitas kehidupannya tanpa rasa takut, atau adanya tekanan dari pihak luar atau pemerintah sekalipun. Menurut Al-Quran, nyawa manusia itu suci. Dinyatakan bahwa : “Kamu jangan membunuh jiwa yang telah dimuliakan Tuhan, kecuali dengan sesuatu sebab yang adil” (Quran Surat : 17:33). Demikian pula disebut :”Barangsiapa membunuh seseorang selain karena membunuh orang lain atau karena membuat kekacauan di atas bumi ia seolah telah membunuh seluruh umat manusia, barangsiapa memberikan kehidupan kepada satu jiwa, ia seakan-akan telah menghidupkan seluruh manusia” (Quran Surat 5:32). 
     2. Hak atas Persamaan dan Kebebasan Setiap orang dipandang sama di depan hukum dan perundang-undangan, maksudnya adalah seluruh manusia di depan Undang-Undang memiliki persamaan dari segi hak, kewajiban dan perlindungan hukum, karenanya dalam setiap konstitusi ditetapkan adanya persamaan itu, juga di dalam hukum positif, serta hukum internasional ( Djaali, 2003 ). Dalam pasal 7 Deklarasi Universal ditegaskan bahwa semua orang sama di depan hukum dan berhak memperoleh perlindungan hukum tanpa dibeda-bedakan. Semua orang berhak memperoleh perlindungan yang sama terhadap diskriminasi yang melanggar deklarasi ini dan terhadap semua hasutan apapun semacam itu. Demikian juga pernyataan dalam pasal 2 Deklarasi Universal bahwa setiap orang mempunyai hak dan kebebasan yang tercantum dalam deklarasi ini tanpa adanya perbedaan apapun seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, tahanan politik atau paham lain, nasional atau asal usul sosial, hak milik, kelahiran atau status yang lain. Juga ditegaskan tidak boleh melakukan perbedaan atas dasar perbedaan politi, kedudukan hukum dan status internasional dari wilayah atau warga Negara dimana orang tersebut termasuk, baik Negara merdeka, wilayah pewalian, wilayah yang tidak berpemerintah sendiri atatu dibawah wilayah lain yang berkedaulatan dibatasi. Berdasarkan pasal-pasal diatas, Nampak sangat jelas betapa persamaan setiap orang didepan hukum itu perlu ditegakkan, tanpa membeda-bedakannya satu sama lain. Jika dalam kenyataannya masih ada tindakan-tindakan diskriminatif yang ditunjukkan oleh penguasa atau lembaga peradilan, maka hal itu mengindikasikan belum terjaminnya hak persamaan di hukum dan perundang-undangan Negara itu. 
          3. Kebebasan Berpikir dan Menyatakan Pendapat Jaminan kebebasan berpikir dinyatakan dalam berbagai deklarasi, diantaranya dalam Deklarasi Internasional tentang HAM pasal 19 yakni “setiap orang berhak atas kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat. Perinciannya sebagai berikut : - Setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa adanya gangguan. - Setiap orang berhak untuk menyatakan pedapat, hak ini mencakup kebebasan mencari, menerima dan menyampaikan keterangan, tanpa memperhatikan pembatasan, baik secara lisan maupun cetakan, dalam bentuk seni, atau media lain menurut pilihannya. - Pelaksanaan hak-hak yang disebut dalam pasal 2 pasal ini membawa kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karena itu, pelaksanaan hak-hak tersebut bias dikenai pembatasan tertentu, tetapi pembatasan ini hanya diperkenankan sepanjang ditetapkan dalam Undang-Undang dan perlu : a. Untuk menghormati hak-hak dan nama baik orang lain. b. Untuk melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum atau kesehatan masyarakat dan kesusilaan. Perlu ditegaskan pula, sekalipun manusia punya kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, namun dalam pelaksanaannya harus berpegang pada kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku, agar tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. 
          4. Hak untuk Berkumpul dan Berserikat Manusia adalah makhluk yang hidup bermasyarakat (homo socius), dimana ia tak dapat hidup tanpa bantuan atau pertolongan dari orang lain. Bahkan Magnis Suseno (1992) berpandangan, bahwa kebermaknaan hidup manusia akan diperoleh pada saat ia ada ditengah-tengah masyarakat. Berkumpul bagi manusia merupakan suatu kebutuhan, karena lewat kegiatan berkumpul tersebut, baik dalam organisasi, pertemuan-pertemuan, rapat-rapat, dan sebagainya setiap orang dapat bertukar pikiran tentang berbagai persoalan. Kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat kurang lengkap tanpa adanya kebebasan berkumpul, karena ia merupakan wahana untuk mengekspresikan gagasan, pendapat, ide untuk kepentingan anggota masyarakat. Dalam Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik terutama pasal 21 yang menyatakan bawa “ tidak dibenarkan mengikat penggunaan hak berkumpul dengan syarat apapun selain yang ditetapkan oleh undang-undang dan dikehendaki oleh keadaan darurat dalam masyarakat demokrasi untuk menjaga keamanan nasional, keselamatan umum, ketertiban umum, kesopanan umum, atau untuk memelihara hak-hak orang lain dan kebebasannya”. Pasal itu memberikan makna bahwa kebebasan untuk mengadakan perkumpulan dan pertemuan harus dipergunakan sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku yang tidak boleh bertentangan dengan keamanan nasional, keselamatan umum, ketertiban umum, kesopanan umum, atau untuk memelihara hak-hak orang lain.             5. Hak Beragama Hak asasi manusia yang paling asasi adalah hak untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinan masing-masing Agama merupakan sumber motivaasi dan inspirasi yang paling tinggi dan tak pernah kering. Ia menuntun manusia utnuk meraih kebahagiaan hakiki, dan menyelamatkan manusia dari berbagai kondisi kehidupan yang nista. Beberapa jaminan HAM beragama diantaranya tercantum dalam pasal 18 Universal Declaration of Human Rights, yakni : 
a. Setiap orang mempunyai kebebasan atasa pikiran, keinsyafan batin dan agama, dalam hal ini   
    termasuk kebebasan berganti agama dan kepercayaan. 
b. Setiap orang mempunyai kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara 
    mengajarkannya, melaksanakannya, beribadat dan menaatinya. 
c. Kebebasan sebagaimana termaksud dalam butir (b) tersebut dapat dilaksanakan baik sendiri 
  maupun bersama-sama dengan orang lain dan baik di tempat umum maupun tempat pribadi. Sedangkan dalam pasal 18 ayat (2) ditegaskan tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga mengurangi kebebasannya menganut agama atau kepercayaan pilihannya sendiri. Namun demikian konvensi tentang hak sipil dan politik juga membenarkan pembatasan itu untuk kepentingan umum kesusilaan umum atau hak-hak asasi dan kebebasan orang lain. 6. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya a. Hak Ekonomi >> kebebasan atas hak milik >> hak mendapatkan pekerjaan >> hak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pekerjaan >> hak terhadap produksi >> hak menyangkut konsumsi >> hak atas pangan 7. Hak atas Pelayanan Kesehatan Hak pelayanan kesehatan disini tidak semata-mata berorientasi pada pengobatan berbagai jenis penyakit, melainkan juga berorientasi kepada sikap dan perilaku sehat yang dimiliki masyarakat, termasuk lingkungan yang sehat. Dalam pasal 25 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights dinyatakan bahwa “ Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya serta usaha sosial yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada waktu mengalami pengangguran, menderira sakit, mengalami cacat, menjadi janda, mencapai usia lanjut atau mengalami kekurangan nafkah dan lain-lain keadaan diluar kemampuannya. Jika dirinci maka hak pelayanan kesehatan meliputi : 
1. Mendapatkan perawatan kesehatan 
2. Mendapatkan makanan dan gizi yang baik 
3. Mengurangi resiko kematian ibu dan bayi 
4. Mendapat perawatan kesehatan sebelum dan sesudah kelahiran yang tepat untuk para ibu 
5. Mendapatkan pelayanan keluarga berencana
6. Hak Memperoleh Pendidikan Pendidikan sangat penting dalam rangka mengembangkan kualitas Sumber Daya Manusia. Tanpa pendidikan sangat sulit untuk mewujudkan kualitas SDM yang handal dan dapat diandalkan untuk pembangunan bangsa. Dalam Deklarasi Hak Asasi Anak, disebutkan bahwa anak diberi hak untuk menerima pendidikan, secara bebas wajib, paling tidak dalam tingkat dasar. Sementara dalam pasal 26 ayat (1) Deklarasi Universal tentang HAM dinyatakan bahwa, setiap orang berhak mendapat pengajaran. Dalam pasal 28 C (1) (II) : setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Semua individu atau orang yang beragama akan sependapat dengan pasal yang ada dalam Deklarasi HAM, namun manakala suatu kaum atau bangsa dalam suatu Negara status manusia individual akan menjadi status warga Negara. Pemberian hak sebagai warga Negara ini diatur dalam mekanisme kenegaraan. Sebagai warga Negara, masing-masing individu tidak hanya memperoleh hak tetapi juga kewajiban ( Sumarsono (dkk), 2001). 

  Kewajiban Warga Negara 
 a. Setiap warga Negara memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan Negara Indonesia dari serangan musuh. 
 b. Setiap warga Negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 
c. Setiap warga Negara wajib mentaati serta menjunjung tinggi dasar Negara, hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali,serta dijalankan dengan sabik-baiknya. 
d. Setiap warga Negara berkewajiban taat, tunduk, dan patuh terhadap segala hukum yang berlaku di wilayah Negara Indonesia. 
e. Setiap warga Negara wajib turut serta dalam pembangunan untuk membangun bangsa agar bangsa kita bias berkembang dan maju kearah yang lebih baik.
f. Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar. 


 DAFTAR PUSTAKA 
Budiardjo Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2008. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. Kardiman Yuyus, dan Yasnita Yasin. Ilmu Kewarganegaraan. 2010. Laboratorium Sosial Politik Pers : Jakarta. Syarbaini Syahrial. Implementasi Pancasila Melalui Pendidikan Kewarganegaraan. 2010. Graha Ilmu : Yogyakarta.

Senin, 15 Mei 2017

PROBLEMATIKA KEBANGSAAN DARI PERSPEKTIF AGAMA

Tema   : Problematika Kebangsaan dari Perspektif Agama
Nama   : Riswandi
Prodi   : PPKN
Kebangsaan, Islam dan Nasionalisme
Negara Indonesia terdiri dari ribuan pulau, ratusan suku bangsa, negara Indonesia merupakan negara majemuk, dengan beranekaragam budaya, agama, bahasa, namun dari banyaknya perbedaan tersebut tetap bisa menjadi satu kesatuan, seperti semboyan NKRI yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Dalam era globalisasi, Indonesia telah mengalami banyak perubahan, perubahan yang dimaksud adalah perubahan dalam persatuan dan kesatuan, perlahan-lahan semboyan yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia sudah mulai luntur, banyaknya kejadian seperti perkelahian, konflik antara mayarakat, tawuran warga, bullying, konflik antar suku. Konflik agama di tengah-tengah masyarakat. Dengan banyaknya kejadian-kejadian tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sedang darurat persatuan.
Kejadian-kejadian tersebut dapat dirasakan dan dihadapi oleh masyarakat karena adanya pengaruh dari penguasa, penguasa itu adalah negara barat, dengan berbagai cara dari mereka, mereka menjajah Indonesia melalui pemikiran, bukan lagi dari fisik, masyarakat Indonesia dituntut untuk mengkonsumsi produk-produk dari luar, tanpa disadari dengan menggunakan produk dari luar maka akan semakin menambah kesempatan mereka untuk menguasai Indonesia.
Adanya konflik, persitiwa dan kejadian-kejadian itu merupakan takdir dari Tuhan, problematika yang terjadi di Indonesia merupakan problematika kebangsaan yang krusial, yang harus segera diselesaikan, namun yang paling krusial adalah problematika kebangsaan yang terkait dengan agama, apalagi baru-baru ini terjadi penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, kasus ini masih bergulir di pengadilan, namun penulis ingin melihat dari sisi lain dari kasus terebut bahkan di lihat dalam konteksnya secara umum, terkait dengan penistaan agama menjadi probematika tersendiri bagi bangsa Indonesia, berbicara soal agama memang merupakan suatu yang sensitif, karena agama adalah urusan tiap-tiap individu, bahkan dalam UUD 1945 juga disebutkan tentang hak untuk memeluk agama. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya. (UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2)
Berbicara tentang problematika kebangsaan dari perspektif agama, maka akan terkait juga dengan hubungan Islam dan nasionalisme, di Indonesia, dimana mayoritas penduduknya adalah muslim telah lama terjadi dikursus tentang hubungan islam dan nasionalisme. Ada yang mencoba mengaitkan atau setidaknya mencari hubungan di antara keduanya. Bahkan ada pula yang mempertentangkan keduanya. Adapun untuk mendapatkan gambaran komprehensif tentang hubungan islam dan nasionalisme, menurut Imam Hasan Al-Banna yang menurut penulis masih sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, dimana diantaranya beliau menguaraikan bahwa apabila yang dimaksud dengan nasionalisme adalah kerinduan/keberpihakan terhadap tanah airnya (nasionalisme kerinduan), atau keharusan berjuang membebaskan tanah air dari imperialise (nasionalisme kehormatan dan kebebasan) atau memperkuat ikatan kekeluargaan antar masyarakatnya (nasionalisme kemasayarakatan), atau membebaskan negeri-negeri lain, (nasionalisme pembebasan),  hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang fitrah dan dapat diterima bahkan ada yang dianggap sebagai kewajiban. (Adhyaksa Dault : 2003) Sebaliknya apabila nasionalisme itu adalah dimaksudkan untuk memilah umat menjadi kelompok-kelompok sehingga mereka menjadi berseteru satu sama lain, kemudian umat diekploitasi untuk memenuhi ambisi pribadi (nasionalisme kepartaian), maka itu pasti nasionalisme palsu yang tidak akan memberikan manfaat sedikitpun.
Nasionalisme yang memberikan manfaat adalah nasionalisme yang lahir dari dalam hati, lahir secara ikhlas dan tulus, tidak terpaksa karena suatu ikatan, dalam agama ikhlas adalah sesuatu yang dijalankan tanpa paksaan dan tanpa intimidasi, ikhlas adalah kemurnian hati untuk menjalankannya. Dalam konsep kebangsaan, nasionalisme dipandang sebagai rasa cinta tanah air, bangsa yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi akan memertahanakan bangsa dan negaraya, dari rasa cinta tersebutlah lahir jiwa patriotisme, bangsa yang berjiwa patriotisme akan membela tanah airnya dari segala macam gangguan.
Belakangan ini perbincangan masalah nasionalisme dalam perspektif dakwah merupakan hal yang sangat jarang dilakukan. Akibatnya, banyak aktivis islam yang membuat jarak terhadap permasalahan ini, sehingga kontribusi mereka terhadap bangsa yang didiami menjadi tidak begitu besar. Umumnya mereka merasa rezim, sistem, dan tanah air adalah sesuatu yang pantang didekati karena tidak megikuti syariah Allah. Masalah berikutnya yang muncul akibat antipati seperti ini adalah aset nasional dikuasai orang lain yang sama sekali tidak peduli dengan keutuhan dan kejayaan bangsa. Bahkan penguasaan total umat islam, kekuatan militer, ekonomi, dan lainlain dikuasai orang lain tanpa rasa malu.
Nasionalisme, Pluralitas, dan Demokrasi
Di luar masalah KKN, masalah pluralisme dan integrasi nasional masih mengemuka. Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia terbagi dalam berbagai kesukuan, keagamaan dan kedaerahan. Namun ketika segmentasi horizontal tersebut berubah menjadi kesadaran sejarah, sistem nilai budaya, pengelompokan sosial, dan kepentingan kelompok yang saling berbeda, maka masalahnya menjadi lain. Lebih dari sekedar untuk dapat disebut sebagai kenyataan, melainkan telah menjadi potensi konflik. Tidak mudah mengatasi konflik horizontal karena pada dasarnya kesukuan, keagamaan dan kedaerahan merupakan faktor yang bersifat tetap(fixe) dan kefaktaan yang membatasi. (Samuel Koto : Pluralitas dan Demokrasi : 2002)
Yang disebut konflik juga tidak linear, seolah-olah hanya terjadi secara antar suku, antar agama, dan antar daerah. Dengan pengecualian di Poso dan Maluku yang diwarnai oleh konflik antar agama, tidak demikian halnya yang terjadi di daerah konflik lain. Di Aceh yang berpredikat Serambi Mekkah, orang Aceh membunuh dan mengusir orang islam, hanya karena dia pendatang atau transmigran dari Jawa. Di Kalimantan bukan hanya suku Dayak Kristen yang membunuh dan mengusir etnis Madura yang seratus persen Muslim, melainkan juga suku Dayak Melayu yang islam ikut berkolaborasi dalam Dayak Raya. Yang paling unik terjadi di tanah Papua setelah muncul apa yang yang disebut dengan Presidium Dewan Papua(PDP) justru konflik menjadi tidak terkendali. Globalisasi konflik-konflik itu memperberat persoalan yang kita hadapi sebagai suatu bangsa. Lagi-lagi nasionalisme dan globalisasi menjadi titik temu dalam penghadapan antara kekuatan internasional versus nasional, celakanya sebagaimana kita tahu, globalisme telah cenderung merontokkan negara bangsa yang tidak sanggup bersaing dalam percaturan global.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi di semua daerah konflik selain tentang peranan pemerintah adalah security treatment yang dengan mudah menjadi armed attack. Kegagalan sistem politik dan pemerintahan dalam penyelenggaraan pembangunan dan keamanan merupakan sejarah masa lalu yang amburadul, dan sejarah masa depan yang sama sekali belum menunjukkan tanda perbaikan yang berarti. Bahkan dalam beberapa kasus, misalnya pembunuhan terhadap Theys H Eulay, pemerintah cenderung gagap, melatarbelakangi konflik bukan berpusar pada entitas pluralitas masyarakat, melainkan pada itu tadi compang-campingnya sistem politik dan pemerintahan dalam penyelenggaraan pembangunan.
Krisis Nasionalisme, Krisis Kebangsaan
Petikan pandangan Prof. Dr. A. Syafii Ma’arif di atas cukup merefleksikan betapa kita mengalami krisis nasionalisme, krisis kebangsaan, setidaknya kita mengidap ambivalensu dan ambiguitas tentang nasionalisme yang di masa lalu mampu menggerakkan rakyat untuk mencapai Indonesia merdeka. Bahwa ada kekhawatiran, nasionalisme menjadi usang oleh dominasi kapitalisme dan sebagian akibat formalisme paham kebangsaan oleh era demokrasi terpimpin dan orde baru di masa lalu.
Dewasa ini, nasionalisme dan nasionalitas di Indonesia menjadi fokus analisis para intelektual di dalam dan di luar negeri. Salah satu analisis barat, belum lama ini, Prof. Dr. Robert I Rotberg, Direktur Program Konflik John F Kennedy School of Goverment, Harvard University, AS, menegaskan bahwa krisi multidimensi di Indonesia membutuhkan solusi yang efektif dan dan cepat, bagi Indonesia, sangat penting memiliki para pemimpin yang kuat, visoner dan legitimate. Ketiganya merupakan suatu keharusan, sebagai conditio sine qua non mengingat Indonesia saat ini berada dalam zona bahaya atau zona merah dari sebuah negara bangsa lemah yang bergerak menuju negara yang gagal.
Dalam pandangan Rotberg, Indonesia akan selamat dan terlindung dari bahaya menjadi negara bangsa yang gagal, apabila memiliki kepemimpinan yang kuat dan visioner serta ada komitmen untuk membantu Indonesia dalam bidang ekonomi dan rekonstruksi sosial, khususnya dalam upaya penegakan hukum (Kompas, 28 Maret 2002). Rotberg juga berpendapat bahwa Indonesia akan menghadapi masa-masa sulit dalam beberapa tahun mendatang dan memerlukan kepemimpinan yang berbobot dan kuat untuk menghindari terjadinya negara gagal dalam disintegrasi.
Persoalan yang serius yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah perekonomian yang lemah, gerakan separatisme Aceh dan Papua, serta konflik sosial. Ada kekhwatiran konflik berlatar belakang perbedaan etnis, agama atau bahasa akan berkembang di daerah-daerah lain tanpa sebab yang jelas. Disini perlunya penguatan pemerintah berdasarkan aturan desentralisasi tanpa perpecahan sekliagus penguatan nilai-nilai politik secara nasional. Pemerintah Indonesia harus beradab dan beragama untuk menyelesaikan konflik kebangsaan, ini terkait dengan hati nurani rakyat Indonesia, ini bukan persoalan biasa, umat islam sakit hati dengan penistaan ini, maka perlu dilakukan proses hukum yang jelas dalam konflik ini (Aa Gym dalam acara Indonesia Lawyer Club). Indonesia memiliki keuntungan adanya sentimen nasional yang kuat tetapi sekaligus memiliki sumber-sumber yang potensial menciptakan instabilitas politik atau ekonomi. Oleh karena itu perlu ada kepemimpinan yang kuat dan visioner. Ada empat kategori negara bangsa yakni negara bangsa yang kuat, lemah, gagal dan runtuh.
Fenomena kegagalan negara bukanlah hal yang baru di dunia setelah keruntuhan Uni Soviet, dari jumlah 192 negara yang berada dalam transisi demokrasi, diantaranya banyak yang lemah dan menghadapi bahaya menuju kegagalan. Negara-negara yang gagal cenderung menghadapi konflik yang berkelanjutan, tidak aman, kekerasan komunal, maupun kekerasan negara sangat tinggi, permusuhan karena etnik agama ataupun bahasa, teror, jalan-jalan atau insfrastruktur fisik lainnya dibiarkan rusak.
Indonesia bukanlah salah satu negara gagal, namun Indonesia adalah negara yang terancam gagal, dalam tata pemerintahannya, Indonesia mulai menghadapi krisis nasionalisme, dimana bangsa Indonesia sendiri sudah mulai bergeser ke arah barat, remaja sudah mulai mengikuti gaya kebarat-barata, dari pakaian dan gaya hidup. Krisis nasionalisme yang dihadapi Indonesia saat ini berdampak terhadap dinamika politik, dinamika politik yang berjalan saat ini tidak stabil, pemerintah cenderung tidak peduli dengan permasalahan bangsa, saat ini pemerintah sibuk mengurusi urusan pribadi, padahal banyak sekali urusan kebangsaan yang belum diselesaikan. Yang menjadi titik permasalahan saat ini adalah persatuan bangsa Indonesia yang terancam hancur, dari banyaknya kejadian dan permasalahan dalm bidang agama, menjadikan bangsa Indoensia terpecah.
Kasus kegamaan seolah menjadi kasus pokok yang bisa menghancurkan bangsa Indonesia, apalagi di Indonesia memiliki beberapa daerah otonom yang sifatnya istimewa, ini sangat rentan untuk keluar dari Indonesia dan membentuk negara baru, hanya karena kasus agama yang dinistakan, agama menjadi pedoman dan kepercayaan setip orang, dalam krisis kebangsaan yang dialami Indonesia adalah konflik antar agama adalah pemicu utamanya. Beberapa kalangan ustadz dan ulama saling melakukan pertemuan untuk menyelesaikan konflik agama yang terjadi. Namun kadangkala pertemuan para tokoh agama kerap kali menjadi ajang pencitraan semata dan untuk kepentingan politik mereka. Apalagi di musim pilkada seperti saat ini. Tidak jarang setiap orang melakukan pencitraan untuk memenangkan salah satu pasangan calon yang didukungnya.
Ancaman Transisi Demokrasi
Bangsa Indonesia yang kini sedag mengalami  proses transisi demokrasi, benar-benar sedang berada dalam situasi kritis karena kini kita tepat berada di persimpangan jalan keselamatan atau jalan kehancuran. Bila proses transisi ini tidak dapat kita lalui dengan baik, demikian sosiolog Imam Prasodjo, ancaman yang kita hadapi tidak saja proses disintegrasi bangsa, tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan terjadinya proses disintegrasi sosial atau hancurnya social bond (kerekatan sosial) dalam masyarakat. Bila social bond hancur, akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling mempercayai) diantara kelompok-kelpmpok sosial, sehingga kelompok satu dengan yang lain dalam masyarakat akan saling curiga, saling bermusuhan, atau bahkan saling berupaya meniadakan. Dalam situasi ini, menurut Imam Prasodjo, tawuran massal gaya Thomas Hobbes, war of all against all,  bukan lagi menjadi khayalan. (Imam B. Prasodjo, The End of Indonesia? (Kompas, 20 Desember 2002)
Situasi yang penuh pertentangan diantara masyarakat itu dinamakan state of nature  dimana manusia saling bersaing dan berkompetisi tanpa aturan dan ketiadaan hambatan atau restriksi untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, bahkan jika perlu membunuh dan penghalalan terhadap segala cara lainnya atau paling tidak menguasai orang lain. Pada tataran abstraksi ini, manusia dipandang sebagai serigala yang saling berkelahi untuk mendapatkan kebebasan atau makanan bagi dirinya. Jadi aturan yang adapun hanya dipergunakan agar tidak terjadi tindakan yang mungkin menghancurkan diri sendiri.

  Gerakan Islam : Respons atas Hegemoni Barat
Munculnya gerakan-gerakan islam modern dengan segala bentuknya yang beragam, menurut Bruce B. Lawrence, mantan Presiden Masyarakat Amerka untuk studi agama, merupakan “pola interaksi antara eropa dan dunia islam”. Perkembangan terbaru dalam interaksi itu dimulai dengan ekspansi kolonial eropa barat pada abad ke-18 dan 19 yang awalnya menimbulkan reaksi defensif dan sekarang berkembang menjadi aksi-aksi ofensif. (Lawrence. Bruce B. Menepis Mitos : Islam di Balik Kekerasa : Jakarta :Serambi Ilmu Semesta, 2000 : Hal 71). Kekuatan kolonial eropa ini kemudian berkembang menjadi “imperalisme”. Amerika Serikat yang menjelma sebagai representasi barat. Jadi barat adalah obyek laan yang berhadapan dengan dunia/gerakan islam. Oleh karena itu perkembangan gerakan islam akan terus meningkat seiring kerasnya dominasi, globalisasi, dan intervens barat barat pada dunia islam. Secara hipotetik, dapat dinyatakan semakin tinggi tingkat hegemoni barat maka semakin tinggi pula resistensi gerakan islam pada tingkat global. Inilah yang kemudian disebut oleh Bassam Tibi, cendekiawan islam yang tinggal di Jerman, secara naif sebagai pencipta kekacauan baru dunia. (Tiara: Ancaman Fundamentalisme Wacana, Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Barat : Jakarta. 2000).
Benjamin Barber secara simplistis menamakan fenomena dan gerakan-gerakan reaktif menentang globalisasi dengan istilah “Jihad vs Mc World”. Fenomenda “jihad” disini tidak hanya dipakainya untuk menggambarkan resistensi dari kelompok-kelompok fundamentalis islam, namun segala bentuk resistensi terhadap globalisasi. Berbeda dengan Huntington yang melihatnya dalam konteks clash of civilizations, ia beranggapan bahwa peperangan jihad menentang Mc World bukan sebuah benturan peradaban. Hal itu merupakan sebuah ekspresi dialektis dari ketegangan-ketegangan yang dibangun ke dalam sebuah peradaban global tunggal ketika ia muncul dengan perpecahan agama dan etnik tradisional sebagai latar belakangnya, yang kebanyakan sesungguhnya diciptakan oleh Mc World dan industri infotainment serta inovasi teknologinya sendiri (Benjamin R. Barber, Jihad v MC World : Fundamentalisme, Anarkisme Barat dan Benturan Peradaban : Surabaya : Pustaka Promethea : 2002)


Berbicara tentang islam, meskipun Barber yang sama sekali bahwa islam adalah sebuah agama kompleks yang sama sekali tidak sinonim dengan jihad, namun menurutnya islam relatif tidak ramah terhadap demokrasi. Ketidakramahan ini sebaliknya menyuburkan kondisi-kondisi yang mendukung parokialisme, antimodern, eksklusivitas, dan permusuhan kepada yang lain.
Pernyataan Barber di atas senada dengan yang diutarakan Huntington, bahwa islam berpotensi menghambat demokrasi. Mengutip Gellner, terdapat argumen bahwa “wujud kebudayaan luhur islam mengandung sejumlah ciri menonjol yang positif; faham keesaan Tuhan, etika kekuasaan, individualisme, ketaatan pada kitab suci, puritanisme, penolakan yang bersifat egaliter terhadap meditasi dan hierarki, muatan magis yang cukup kecil, yang kesemuanya sesuai dengan persyaratan bagi modernitas atau modernisasi. Namun, tegas Huntington, islam juga menolak pembedaan antara komunitas agama dan komunitas politik. Islam fundamentalis menuntut bahwa dalam sebuah negeri muslim, para penguasa politik seharusnya adalah muslim yang taat, syariat seharusnya merupakan hukum dasarnya, dan ulama seharusnya memiliki suara yang menentukan dalam mengartikulasikan, atau sekurang-kurangnya meninjau dan meratifikasi semua kebijakan pemerintah jadi doktrin islam mengandung unsur-unsur yang sesuai maupun yang tidak sesuai dengan demokrasi.. (Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga(terj.), Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1995) Hal. 396)
Lebih jauh lagi, Huntington menilai bahwa maslaah bagi barat bukanlah fundamentalisme islam, tetapi islam, sebuah peradaban berbeda yang didukung oleh orang-orang yang meyakini superioritas kebudayaan mereka dan terobsesi dengan lemahnya kekuatan mereka. Sebaliknya masalah bagi islam bukanlah CIA atau departemen pertahanan AS, melainkan barat, sebuah peradaban berbeda yang didukung oleh orang-orang yang yakin pada universalitas kebudayaan mereka dan percaya bahwa mereka superior, jika melemah kekuatan memaksa mereka menjalankan kewajiban untuk mengembangkan kebudayaan mereka ke seluruh dunia.
Kaum fundamentalis memandang bahwa memahami agama secara mengakar jauh lebih penting sebelum membuat rencana aksi yang cenderung bersifat kekerasan. Penyeragaman pandangan terhadap komunitas yang memberikan respon terhadap modernisasi, pemerintahan sekuler dan budaya barat ke dalam sebutan fundamentalis sesungguhnya merupakan sebuah penyederhanaan yang berlebihan. Spektrum dunia pergerakan islam sesungguhnya menyimpan warna-warna yang kaya dalam khazanah yang cukup plural. Tidak semua kalangan yang kritis terhadap Amerika Serikat, Israel, budaya barat, materialisme kapitalisme, isu-isu feminisme, hak asasi manusia dan demokrasi dapat dikategorikan sebagai kaum fundamentalis.
Kaum radikal islam yang bangkit dengan garis yang berbeda, bahkan secara diametral berlawanan dengan fundamentalis adalah taksonomi pergerakan islam yang mesti dilihat secara berhati-hati. Adanya fakta bahwa fundamentalisme telah muncul dalam ledakan-ledakan kecil dan besar di semua budaya (budaya agama monotheis, maupun politheis) mengindikasikan sebuah kekecewaan yang meluas terhadap masyarakat modern dimana banyak dinatara kita malah merasakannya sebagai sesuatu yang membebaskan, menyenangkan dan memberdayakan.
Proyek-proyek yang secara kasat mata dipandang baik oleh kaum liberal, dimana kaum radikal islam juga termasuk di dalamnya seperti demokrasi, penciptaan perdamaian, kepedulian terhadap lingkungan, pembebasan wanita atau kebebasan berbicara dapat dipandang buruk, bahkan haram oleh kaum fundamentalis.
Kaum fundamentalis seringkali mengekspresikan dirinya secara kekerasan, tetapi kekerasan itu adalah cara atau jalan yang paling sederhana yang memancar dari ketakutan mereka yang mendalam akan hancurnya komunitas, tradisi, nilai dan budaya yang mereka anggap luhur.
Setiap gerakan kaum fundamentalis yang pernah diteliti, terdapat sebuah ketakutan irasional akan proses penghancuran terhadap mereka secara sistematis. Menurut Scott Appleby, kemapanan kaum sekuler bertujuan untuk menghapuskan keberadaan mereka sebagai kaum beragama dari muka bumi ini, sekalipun itu di Amerka Serikat sendiri. Kaum fundamentalis yakin bahwa respon mereka secara kekerasan adalah sebentuk perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan yang telah menakut-nakuti mereka selama ini. Kaum fundamentalis percaya bahwa mereka selama ini melawan demi mempertahankan agama dan mempertahankan masyarakat yang beradab.
Karen Armstrong, dalam tulisannya tentang biografi rasul Muhammad mengingatkan tanggung jawab barat/AS terhadap munculnya bentuk radikalisme baru islam, yang dalam pengertian tersembunyi akan bangkit secara tiba-tiba seperti dalam fantasi-fantasi lama masyarakat barat. (Karen Armstrong, Muhammad. A Biography of The Prophet, Gutternberg Project :2000). Sekarang banyak masyarakat dalam komunitas dunia islam yang menolak persepsi bahwa barat sebagai tak bertuhan, tidak adil dan dekaden. Kaum islam radikal baru tidaklah sesederhana kaum fundamentalis yang membenci barat. Bagaimanapun, kaum radikal baru islam tidak merupakan gerakan yang homogen. Muslim radikal pada pokoknya berupaya meletakkan rumah mereka sendiri dalam suatu tata aturan yang berbeda sesuai dengan yang mereka persepsikan. Tidak sebagaimana kaum fundamentalis yang mengidap dislokasi kultural yang parah, kaum radikal juga merasa nyaman dengan zaman modern.
Mustahil untuk menggeneralisasikan bentuk-bentuk ekstrim kelompok agam, karena mereka bukan hanya berbeda tiap-tiap negara, tetapi juga berbeda antara tiap-tiap kota bahkan tiap-tiap kampung atau desa. Hanya sebagian kecil saja dari kelompok fundamentalis yang setia dengan aksi-aksi teror, sementara banyak kaum radikal islam bahkan sangat bersahabat, menginginkan perdamaian, berpengharapan pada hukum dan tata aturan dan menerima nilai-nilai positif dari masyarakat modern. Jika kaum fundamentalis tidak pernah punya waktu untuk berbicara tentang demokrasi, pluralisme, toleransi beragama, penciptaan, perdamaian, kebebasan individu atau pemisahan antara agama dan negara, maka komunitas lainnya bahkan yang radikal sekalipun justru menganggap semua itu adalah sublimasi nilai-nilai agama dan bahasa profan.
Nasionalisme Religius
Nasionalisme merupakan solusi terbaik meng-counter wabah disintegrasi bangsa sebab ikatan dan kesadaran sebagai suatu bangsa yang memiliki persamaan sejarah dan perjuangan akan membentuk suatu ikatan identitas dan emosional yang kuat. Sebagai  bangsa yang religius tentunya nasionalisme Indonesia tidak akan terlepas dari nilai-nilai spiritual. Dewasa ini di Indonesia, isu mengenai nasionalisme semakin memudar. Indikasi ini terlihat dari fenomena yang berkembang pada tataran masyarakat bawah (grass root) terutama pada generasi muda sedikit sekali dari mereka yang mereka makna nasionalisme, terlebih mengaplikasikan nilai-nilai nasionalisme dalam kehidupan keseharian dalam bingkai kebangsaan.
Komposisi Indonesia sebagai bangsa yang besar, baik dari segi luas wilayah negara, ragam agama, multi kultur dan multi etnis meniscayakan terbangunnya nasionalisme secara kokoh. Kondisi yang sangat rentan terebut diperparah dengan semakin membuminya globalisasi dunia membuat jajak geografis antar negara semakin tipis yang jika tidak diwaspadai dan diambil tindakan preventif sedini mungkin, dapat berimbas hilangnya identitas suatu masyarakat bahkan bangsa. Nasionalisme kini seakan menjadi barang langka yang hanya dapat dijumpai dalam suatu diskusi, seminar dan pembicaraan akademik lainnya tetapi itupun hanya terbatas dalam suatu perdebatan dan wacana tanpa tindak lanjut. Banyak faktor yang turut mempengaruhi kondisi memudarnya semangat nasionalisme. Faktor globalisasi dituding menjadi salah satu sebab yang paling mempengaruhi dan bertanggung jawab atas kondisi mereduksinya nilai-nilai nasionalisme dalam suatu bangsa. Globalisasi telah memudarkan batas geografis, demografis serta etnografis antara satu negara dengan negara lainnya.
Kekhawatiran sebagian masyarakat Indonesia terhadap munculnya kembali ideologi komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia menyebabkan kembali terangkatnya wacana tentang nasionalisme religius dalam kancah politik Indonesia. Sebagian besar rakyat Indonesia memang tidak menghendaki ajaran-ajaran komunis dihidupkan lagi. Namun, sebagai sebuah wacana intelektual, kita tidak boleh begitu saja mengharamkan segala sesuatu yang memiliki dampak negatif secara praktis. Artinya, dalam tataran teoritis, ajaran-ajaran komunisme/Marxisme –Leninisme semestinya boleh saja dipelajari sebagai sebuah wacana intelektual-ilmiah yang bisa membantu masyarakat memperluas cakrawala pemikiran yang semakin mencerdaskan dan mendewasakan bangsa Indonesia.
Komunisme tentu saja harus dilarang kalau sudah dijadikan sebagai ideologi dan gerakan, karena ketiganya tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang umumnya menganut agama sesuai dengan keyakinannya. Karena itu, politik Indonesia diharapkan menjadi sebuah politik yang tetap diwarnai nilai-nilai spiritual-keagamaan, politik yang tidak sepenuhnya terlepas dari koridor moral dan nilai-nilai ketuhanan yang menjadi landasan dan dasar ideologi negara. Upaya ini hendaknya tidak dilihat sebagai pemolitikan agama yaitu menjadikan isu-isu agama sebagai komoditas politik untuk memperoleh kekuasaan dan semacamnya, tetapi lebih pada pengagamaan politik, yaitu upaya menjadikan agam sebagai pengawas para pelaku politik agar tidak terjebak dalam politik Machiaveliansme yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Nation (bangsa) mempunyai dua pengertian yaitu, dalam pengertian antropologis/sosiologis dan politis. (Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme (Ciputat : Logos, 1999) Hal 57). Dalam pengertian antropologis/sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Nasionalisme politik masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam.
Nation dalam pengertian politik ilmiah yang kemudian merupakan pokok bahasan tentang nasionalisme. Tetapi nation dalam pengertian antropologis tidak dapat begitu saja ditinggalkan atau diabaikan, sebab ia memiliki faktor obyektif. Meskipun bukan merupakan hal pokok, namun sering menentukan bagi terbentuknya bangsa dalam pengertian politik. Jadi, dalam kedua pengertian bangsa itu, ada kaitan yang sangat erat dan penting. Menurut Otto Bauerdari Austria, nasionalisme adalah kebersamaan demikian menumbuhkan suatu persatuan dan kesatuan bangsa,. Bangsa meurutnya adalah sautu character gemeinschaft, suatu persamaan watak, dan persamaan watak itu tumbuh karena ada suatu schicksalgameinschaft yaitu suatu perasaan nasib yang telah dialami bersama. (Roeslan Abdulgani, Pancasilaa Perjalanan Sebuah Ideologi (Jakarta : Grassindo, 1998) Hal ; 122).
Dalam perkembangannya, konsepsi kebangsaan negara-negara barat yang notabene menganut paham sekuler ternyata tidaklah benar sepenuhnya, dimana nilai-nilai kegamaan masih sangat kental ditemukan disana. Dalam fenomena kekinian, terindikasi bahwa kondisi tersebut semakin menguat. Semua di atas jika ditari ke belakang maka tidak akan terlepas dari semangat barat dalam menyebarkan dan mengumandangkan gold, glory and gospel. Begitupun dengan bangsa-bangsa timur, tumbuh dan berkembangnya jiwa nasionalisme memang dapat dikatakan sebagai effect  dari adanya kolonialisasi dan imperialisme barat, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa semangat dan nilai-nilai keagamaan mempunyai andil dan peran yang sangat signifikan yang menjadi api sekaligus bahan bakar perjuangan mebebaskan bangsa melawan penjajahan. Kondisi tersebut menjadi perbincangan untuk diangkat dalam persoalan nasionalisme di Indonesia khususnya menyangkut nasionalisme religius yang memang kiranya lebih inklusif dan sesuai dengan karakteristik masyarakat Indoenesia yang religius tanpa terlepas dari keyakinan masyarakat Indonesia yang beragam. Pemahaman dan penjiwaan nasionalisme sudah sepatutnya mengalami rekonstruksi agar mampu menghadapi tantangan globalisasi yang semakin meretaskan batas-batas sosiokultur dan geografis negara-negara bangsa saat ini.
Nasionalisme dalam agama dipandang sebagai turunan dari ideologi Pancasila yang kemudian melahirkan satu paham nasionalis religius dalam tata perpolitikan bangsa Indonesia, tidak dapat menjadi satu ideologi baru yang bertentangan dengan falsafah pancasila.
Persoalan bangsa kita ke depan adalah bagaimana mengelola kemajemukan agar menjadi faktor eskalator terbangunnya kebersamaan bangsa menuju kesatuan politik. Dari sini proses nation  building menjadi agenda penting yang harus dibina dan ditumbuhkembangkan. Soekarno, misalnya membangun rasa kebangsaan dengan membangkitkan sentimen nasionalisme yang menggerakkan suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa mereka itu adalah satu golongan, satu bangsa. Mohammad Hatta juga menekankan rasa kebangsaan ada keinsyafan persamaan nasib dan tujuan, serta keinsyafan sama seperuntungan.
Dengan demikian, proses pemersatuan bangsa dalam suatu negara, seperti diungkap Coleman dan Rosberg, mesti didasarkan pada dua dimensi, pertama, integrasi vertikal bertujuan untuk menjembatani celah perbedaan yang mungkin ada di antara elite dan massa dalam rangka pengembangan suatu proses politik terpadu dan masyarakat politik yang berpartisipasi. Kedua, integrasi horizontal yang bertujuan mengurangi diskontinuitas dan ketegangan kultur kedaerahan menuju masyarakat politik yang homogen untuk membangun masa depan negeri ini dengan label  reformasi yang menghargai dan mengakui pluralitas, diperlukan penataan kembali komitmen kebangsaan melalui pematangan budaya dan integrasi. Upaya ini, pada dasarnya berkaitan dengan penciptaan rasa kebersamaan, yang antara lain bisa tercipta ketika sistem politik mampu mengalirkan kepuasan kepada masyarakat. Komitmen kebangsaan bukanlah suatu yang secara taken for granted tersedia. Karenanya proses nation building  harus berjalan terus. Dengan demikian kepada cita-cita masyarakat demokratis yang akan menciptakan bangunan dasar negara bangsa yang modern.
Konsep nasionalisme raligius (berlandaskan nilai-nilai keislaman) tidak  hanya berada pada tataran teoritis melainka harus ada upaya pengkontekstualisasian dalam kehidupan nyata. Jangan hanya gagasan-gagasan atau wacana –wacana kosong yang tanpa arti dan tidak membawa efek kemajuan bangsa Indonesia. Semangat kebangsaan yang berlandaskan kepada spirit keagamaan kira-kira harus terus dibumikan di bumi Indonesia yang religius.


Penghayatan akan spirit keagamaan kiranya tidak hanya ada pada tataran kaum ulama atau cendekiawan, tetapi harus diejawantahkan dalam perilaku para elit dan pemimpin bangsa Indonesia ke depan guna membangun masa depan Indonesia yang lebih baik, sehingga cita-cita baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang baik dan penuh ampunan Tuhan) dapat terwujud.

Pergerakan Dakwah dan Politik
Perkembangan dunia dakwah di Indonesia pernah mengalami pasang surut pada zaman orde baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto. Hingga akhir tahun 1980-an rakyat Indonesia terutama umat islam mengalami gangguan ketika menjalankan aktivitas beragamanya, yaitu kebebasan berdakwah serta kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya. Masa itu merupakan masa yang kelam bagi perkembangan dakwah islam. Apalagi bila dakwah itu berisi kritikan terhadap kekuasaan.
Pengertian dakwah secara semantik perkataan dakwah berasal dari bahasa arab, yaitu da’a –yad’u. Yang artinya mengajak, mengundang atau memanggil. Kemudian menjadi kata da’watun yang artinya panggilan, undangan atau ajakan. Istilah lain yang identik dengan kata dakwah ialah tabligh. Dengan demikian secara etimologis dakwah dan tabligh berarti suatu proses penyampaian pesan-pesan yang berupa ajakan tersebut. (Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997. Cet. Ke-2 Hal 33-38). Sedangkan ajaran agama islam yang tujuannya agar orang melaksanakan ajaran agama dengan sepenuh hati. Di dalam kegiatan tabligh itu terdapat unsur-unsur ajakan, seruan, panggilan, agar orang yang dipanggil berkenan mengubah sikap dan perilakunya sesuai dengan ajaran agama islam yang dianutnya.
Pada dasarnya lapangan dakwah itu sangat luas sekali, meliputi perikehidupan manusia itu sendiri. Lapangan dakwah meliputi semua aktivitas manusia dalam hubungannya secara totalitas, baik sebagai individu, anggota masyarakat, bahkan warga alam semesta. Bagi seorang muslim dakwah merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kewajiban dakwah merupakan suatu yang bersifat conditio sine quanon, tidak mungkin dihindarkan dari kehidupannya. Dakwah karenan melekat erat bersamaan dengan pengakuan dirinya sebagai seorang yang mengaku diri sebagai seorang muslim maka secara otomatis pula ia menjadi seorang juru dakwah.
Merujuk pada surat Al-Asyr, merugilah orang islam yang tidak saling berpesan tentang kebenaran dan kesabaran. Saling berpesan merupakan fungsi dakwah dan kesabaran. Saling berpesan merupakan fungsi dakwah itu sendiri yaitu suatu kontrol sosial yang disandarkan pada kebenaran, dengan disertai semangat tetap konsisten, tahan uji dan sabar. Orientasi dakwah adalah penghargaan kepada harkat dan derajat manusia, dimana bentuk dakwah mutlak menghargai prinsip-prinsip humanisme.
Politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi atau sifat perbuatan. Disini politik berarti bertindak bijaksana dan bijak. Kata lain adalah politics yang berarti seni atau ilmu tentang pemerintahan. Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani τα πολιτικά (politika - yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya πολίτης (polites - warga negara) dan πόλις (polis - negara kota).
Secara etimologi kata "politik" masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Kata "politis" berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata "politisi" berarti orang-orang yang menekuni hal politik.
Jika dilihat secara Etimologis yaitu kata "politik" ini masih memiliki keterkaitan dengan kata-kata seperti "polisi" dan "kebijakan". Melihat kata "kebijakan" tadi maka "politik" berhubungan erat dengan perilaku-perilaku yang terkait dengan suatu pembuatan kebijakan. Sehingga "politisi" adalah orang yang mempelajari, menekuni, mempraktekkan perilaku-perilaku didalam politik tersebut. (http://pengertian-ilmu-sistem-politik.blogspot.co.id/2015/09/pengertian-politik-menurut-para-ahli-secara-etomologi-umum-02.html diakses pada hari Kamis tanggal 20 April 2017 pukul 7.46)
Lalu bagaimana dengan problematika dikaitkan dengan radikalisme?
BANGKITNYA gerakan radikalisme agama dewasa ini, secara historis sulit dilepaskan dari reaksi negatif atas gelombang modernitas yang membanjiri negara-negara Muslim pada awal abad ke-20. Pengaruh modernitas ini bukan hanya pada dimensi kultural, tetapi juga dimensi struktural-institusional, seperti sains dan teknologi serta instrumen modern lainnya, khususnya pandangan mengenai kesadaran kebangsaan yang melahirkan konstruksi negara-bangsa modern.

Reaksi tersebut muncul akibat ketidakmampuan kultur masyarakat merespons nilai-nilai dan norma-norma baru yang diusung gelombang modernitas ini. Tidak seperti di negara-negara Eropa Barat di mana kesadaran nasional berakar, tumbuh, dan berkembang dari perlawanan terhadap kekuasaan feodal dan negara absolut, gelombang nasionalisme di Asia, Afrika, dan negara-negara Muslim di Semenanjung Arab, Timur Tengah, lahir justru dari perlawanan terhadap kolonialisme Eropa.
Situasi itu tentu saja membawa dampak traumatis sehingga hadirnya ideologi nasionalisme di negara-negara Muslim mengalami ketegangan yang tajam, bahkan perlawanan dari unsur-unsur pembentuknya. Di samping realitas masyarakatnya yang sangat plural, dipertentangkannya konsepsi negara-bangsa sekuler modern dengan universalisme tatanan berdasar agama, telah mempertajam ketegangan dan benturan politik-ideologis yang menghambat perkembangan kesadaran kebangsaan.
Akibatnya, konstruk negara-bangsa modern di negara-negara Muslim umumnya mengalami delegitimasi dan ancaman terus-menerus. Dan, kondisi ini diperparah oleh krisis yang dialami negara-bangsa sendiri berikut kelemahan-kelemahannya yang mendasar, serta kenyataan akan minimnya basis kultural bagi terbentuknya civil society modern dalam masyarakat.
Krisis negara-bangsa umumnya dipicu oleh fakta bahwa ia lebih berperan sebagai "Republic of Fear", meminjam istilah Samir al-Khalil, yang melakukan pemaksaan dan penyeragaman seluruh entitas etnis dan budaya lokal dalam entitas lain yang bernama "identitas nasional", hal mana telah mengakibatkan legitimasi negara-bangsa begitu lemah.
Demikian juga kenyataan sosial yang sangat plural dan tanpa kesadaran berdemokrasi telah menciptakan persaingan antar-etnis, dan sektarianisme yang tak terelakkan untuk memperebutkan akses politik dan ekonomi. Celakanya, civil society sebagai komunitas politik di mana masyarakat membagi norma-norma dan nilai-nilai guna membangun konsensus bersama atas dasar kemajemukan, kebebasan, dan kesetaraan, ternyata demikian rapuh.
Konsekuensinya, ketidakmampuan negara-bangsa menyemai kondisi-kondisi politik yang demokratis dan menyelesaikan krisis ekonomi serta ketidakadilan sosial telah membangkitkan frustrasi masyarakat. Situasi demikian tak pelak ikut melahirkan gerakan fundamentalisme agama yang lebih bersifat ideologis dan politis untuk mendelegitimasi negara-bangsa dan menggantikan tatanan maupun nilai-nilai demokrasi "sekuler", yang dianggap sebagai biang berbagai krisis tersebut, dengan tatanan Islam. (Bassam Tibi, 1998)

RADIKALISME agama sebagai fenomena yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini, terutama dengan maraknya sejumlah "laskar" atau organisasi berlabel agama yang diduga menciptakan kekacauan dan teror, eksistensinya sulit dipisahkan dari faktor-faktor tersebut di atas: krisis kebangsaan dan minimnya basis kultural demokrasi.
Krisis kebangsaan ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa kesadaran nasional mengenai "Indonesia" lebih dominan dibangun oleh perekat politik ketimbang perekat budaya. Negara (state) dalam hal ini demikian memonopoli penciptaan idiom-idiom "identias nasional" tanpa memberi ruang bagi budaya dan entitas lokal untuk memaknai kebangsaannya.
Pola penyeragaman demikian itu, khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru, telah mengebiri dan memandulkan proses kreativitas dan emansipasi kesadaran masyarakat. Lalu, ketika keran kebebasan dan demokratisasi terbuka lebar, tuntutan akan pemberdayaan dan partisipasi politik rakyat makin membesar, dan seiring dengan itu muncul pula gerakan penegasan identitas komunal masyarakat, seperti etnisitas, budaya lokal, dan terutama gerakan fundamentalisme agama.
Meski demikian, ketidakadilan sosial dan krisis negara-bangsa ini bukanlah faktor tunggal suburnya gerakan-gerakan radikalisme agama. Ada faktor terpenting yang tidak bisa diabaikan, sebagaimana diutarakan Ketua PBNU, Hasyim Muzadi, beberapa hari lalu (Kompas, 3/11/2002), yaitu penerapan ajaran-ajaran agama yang mengabaikan aspek sosio-kultural masyarakat setempat.
Penolakan total terhadap tradisi lokal, sekaligus pada perkembangan modernitas dengan tanpa mengadaptasikan ajaran agama dengan kebutuhan sejarah dan konteks sosial, pada akhirnya melahirkan sikap eksklusif dan pandangan ekstrem dalam beragama.
DALAM perspektif historis, radikalisme agama di Tanah Air adalah warisan dari ketidakmampuan sebagian kelompok Islam menegosiasikan dogma dan doktrin keagamaannya dengan realitas sosial dan kebutuhan masyarakat tentang pentingnya wawasan kebangsaan sebagai entitas yang menjamin pluralisme. Antagonisme politik dan ideologis antara Islam dan negara ini, dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan, ketika elite politik terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka.

Kendati ada upaya mencari jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik, dan simbolistik masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru. (Bahtiar Effendy, 2001)
Namun demikian, tanpa mengabaikan arus transformasi intelektualisme baru Islam dewasa ini, proses "reproduksi" Islam radikal pun terlihat tidak pernah surut. Hal ini terutama tampak pada tema-tema ideologis yang diusung kalangan Islam radikal yang "lebih vulgar", yang memfokuskan gerakannya pada empat agenda utama: mendirikan negara Islam dan menegakkan syariah, seraya menolak demokrasi dan kepemimpinan perempuan. Hebatnya, gerakan para aktivis Islam radikal ini telah memasuki ruang beberapa partai-partai politik Islam di Tanah Air. (Lihat penelitian Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, 2002)
Di sini tampak jelas bahwa sebagian kalangan Islam masih memosisikan secara dikotomis dan antagonistik antara Islam dan kebangsaan, dan menolak sintesis yang memungkinkan antara agama dan negara dalam kehidupan politik.
Selain itu, akibat dari pemahaman keagamaan yang simbolistik ini, nilai-nilai universal demokrasi, seperti: kebebasan, kesetaraan, pluralisme, dan hak asasi manusia belum dipahami sebagai bagian inheren dari pesan-pesan profetis agama. Sebagaimana hal ini ditunjukkan secara tegas dari upaya mereka menuntut formalisasi syariah dalam hukum dan perundang-undangan negara.
DEMIKIANLAH, sesungguhnya banyak faktor dan penyebab yang memungkinkan suburnya gerakan radikalisme agama di Tanah Air. Pemahaman keagamaan yang ekslusif, skripturalis, dan miskinnya kesadaran sejarah dalam penafsiran teks-teks kitab suci, telah mewariskan sikap-sikap yang fanatik, dogmatik, dan intoleran dalam menyikapi perkembangan global.
Di sisi lain, ketidakpuasan terhadap kebijakan politik negara-bangsa modern yang dominatif dan manipulatif, berikut krisis yang diakibatkannya, telah menjadi tempat persemaian paling strategis bagi gerakan ini.
Akhirnya, dengan memahami kompleksitas masalah yang melatarbelakanginya, kita sangat berharap gerakan radikalisme agama dapat diatasi secara tegas dan komprehensif tanpa mengorbankan proses demokratisasi yang kini tengah berlangsung di depan mata.
Kalangan Agama Perlu Selesaikan Problem Kebangsaan
Jakarta, Kompas - Agamawan perlu mencari landasan yang sama dan menemukan musuh bersama untuk menyelesaikan problem kebangsaan. Musuh bersama itu bukan pemeluk agama lain, tetapi masalah kemanusiaan dan kebangsaan yang menyengsarakan rakyat.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam dialog keumatan dengan tema ”Kontribusi Umat Beragama bagi Kesejahteraan Bangsa dan Perdamaian Dunia” di Jakarta, Kamis (18/9).
Dialog yang diselenggarakan Partai Keadilan Sejahtera ini juga menghadirkan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Andreas Yewangoe dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Sekjen Indonesia Community for Religion and Peace Theophilus Bela, Sekretaris Parisada Hindu Dharma Indonesia I Ketut Parwata, dan WS Asumtapura dari Masyarakat Thionghoa Indonesia sebagai pembicara.
”Kalangan agama harus bergerak mengatasi masalah dunia dan bangsa ini. Apalagi, disadari bahwa politik saja tidak bisa sendiri menyelesaikan masalah kebangsaan sekarang,” ujarnya.
Menurut Din, dialog antar-agama tetap diperlukan meskipun sering muncul sikap sinisme dari masyarakat yang meragukan efektivitas dialog karena masih ada ketegangan dan konflik.
”Namun, secara berseloroh saya mengatakan, ada dialog saja sering konflik, apalagi kalau tidak ada. Namun, dalam konteks Indonesia, dialog merupakan keniscayaan,” ujarnya.
Apalagi, menurut Din, agama di Indonesia pernah berperan sebagai penyelesai masalah meski sekarang agak kurang. Bahkan, agama menjadi bagian dari masalah karena menjadi pembuat masalah.
Dalam sambutan pembukanya, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Sidiq mengatakan, tokoh agama punya kemampuan untuk mengubah bangsa ini. Apalagi, ketika politisi tidak bisa menyelesaikan problem bangsa sendiri. ”Kita melihat politisi saat ini banyak disorot soal penyimpangan, bukan prestasi. Ini tentu membuat makin banyak warga masyarakat kecewa,” ujarnya.
Dalam konteks kebangsaan, Hidayat mengatakan, Indonesia sudah memiliki etika kehidupan berbangsa dan visi Indonesia masa depan. Etika yang sudah dituangkan dalam Tap MPR itu sangat menekankan pentingnya religiusitas.
Menurut Hidayat, tak ada ajaran agama mana pun yang mengajarkan korupsi. Karena korupsi telah membuat malu anak bangsa terhadap bangsa Indonesia, cukup alasan untuk dijadikan musuh bersama.
”Keberagamaan kita saat ini punya agenda besar untuk menyelesaikan masalah bangsa. Komitmennya untuk kemaslahatan bangsa,” ujarnya.
Yewangoe mengatakan, lembaga keagamaan tidak mau diidentikkan dengan satu partai tertentu. Agama dalam substansi pasti baik. Namun, dalam penampakan sejarah, selalu saja ada jurang dari yang semestinya dilakukan dan kenyataan yang dilakukan.
Dari beberapa perspektif dan berbagai sumber maka, dapat dikatakan bahwa problematika kebangsaan dapat diselesaikan dengan tujuan demi kemaslahatan bangsa maka akan ditemukan cara-cara tertentu yang disesuaikan dengan ideology Pancasila.












DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani Roeslan. Pancasila  Perjalanan  Sebuah Ideologi.  Grassindo: Jakarta, 1998
Armstrong Karen, Muhammad. A Biography of The Prophet. Gutternberg Project, 2000
Barber Benjamin R. Jihad v MC World : Fundamentalisme, Anarkisme Barat dan Benturan Peradaban. Pustaka Promethea: Surabaya, 2002
Bruce B Lawrence. Menepis Mitos, Islam di Balik KekerasanSerambi Ilmu Semesta: Jakarta, 2000
Dault, Adhyaksa. Islam & Nasionalisme, Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional. Yadaul : Jakarta, 2003
Huntington Samuel P. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Pustaka Utama Grafiti: Jakarta, 1995
Koto, Samuel. Pluralitas dan Demokrasi, 2002
Prasodjo Imam B. The End of Indonesia? : Kompas, 2002
Tasmara Toto. Komunikasi Dakwah. Gaya Media Pratama: Jakarta, 1997
Tiara. Ancaman Fundamentalisme Wacana, Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Barat. Jakarta, 2000
UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2
Watson C.W. Margono. Rahmani Muhajir Arif. Membaca A.M. Fatwa Perubahan dan Konsistensi. Teraju (PT Mizan Publika): Jakarta, 2008
Yatim Badri. Soekarno, Islam dan Nasionalisme. Logos: Ciputat, 1999
Zada Khamami. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia.  2002


ASEAN YOUTH CULTURAL EXPOSURE 2017

ASEAN YOUTH CULTURAL EXPOSURE 2017 THAILAND Pemuda yang berprestasi sejatinya selalu melakukan hal-hal yang baru dan bermanfaat bagi sem...